ISI
A.
Penulisan
Nama Yahweh
Nama
Tuhan dalam naskah Ibrani tertera empat huruf (tetragramaton), YHWH. Kitab
TaNaKh (Torah, Nabiim, dan Kethubim), kitab orang Ibrani, mengakui nama YHWH tertulis
6829 kali dan merupakan kata yang otentik di dalam naskah-naskah transmisi
Perjanjian Lama. J.P Green dalam The Interlinear Bible menyebutkan bahwa teks
Ibrani di dalam Perjanjian Lama yang disalinnya berasal dari teks Masoretik.
Namun, salinannya ini sudah memiliki bentuk vokal sehingga tertulis YeHoWaH. Di
dalam penulisan dalam bahasa Inggris dikenal dengan Jehovah. Penulisan dalam
bentuk YeHoWaH terjadi karena adanya vokal yang dicantumkan dalam konsonan
YHWH. Bentuk penambahan vokal ini dikerjakan oleh Kaum Masoret. Mereka adalah
ahli-ahli kitab dari bangsa Yahudi yang hidup antara 500-an sampai dengan
1000-an Masehi. Dari kaum Masoret ini huruf vokal ditambahkan di dalam salinan
Perjanjian Lama.
Para
ahli dan pakar teologi memiliki pendapat dan bukti yang sama mengenai cara
penulisan nama Tuhan dalam bahasa asli Alkitab, yaitu YHWH. Dari pernyataan,
bukti-bukti dan penggalian sejarah menunjukkan bahwa kata YHWH adalah bukti
yang otentik mengenai nama pribadi Allah Israel yang tercatat dalam naskah-naskah
Perjanjian Lama. Penulisan secara orisinil dalam naskah Ibrani (masa penulisan
Perjanjian Lama) tidak terdapat huruf-huruf vokal. Ada beberapa kitab yang
tidak mencantumkan YHWH sama sekali, antara lain kitab Ester dan Pengkhotbah.[1] Dalam
Kitab Kidung Agung nama Tuhan muncul hanya satu kali saja dalam bentuk pendek
(Kid 8:6).[2]
Yahweh
merupakan pusat dari Alkitab. Alkitab ditulis dalam masa yang panjang oleh
banyak pengarang yang berbeda, memakai beraneka ragam genre. Kadang-kadang
sukar untuk melihat cerita yang satu diantara cerita-cerita yang ada. Meskipun
demikian ada sebuah kesatuan organis dalam Alkitab. Bukti yang paling jelas
ialah kita dapat berkata tentang seorang Pengarang utama. Seluruh isi Alkitab
diinspirasikan oleh Tuhan.[3]
Kapan
Nama YHWH dinyatakan ?
“Akulah Yahweh- itulah nama-Ku” : demikianlah pernyataan
Allah kepada Musa, kepada para tua-tua Israel, kepada segenap umat itu. Allah
menyatakan nama-Nya supaya nama itu “diketahui”, “dikenal” atau “diingat”
orang. Akan tetapi, bersama-sama dengan pengetahuan nama itu Ia memberikan
sesuatu yang lebih besar daripada pengetahuan suatu nama belaka, yakni
pengalaman kehadiran-Nya sendiri. Musa akkan diri kepadaku” (Kel 3:16).[4]
Salah
satu yang menjadi pertanyaan bagi para ahli sejarah Alkitab yang berkaitan
dengan ini adalah kapan YHWH dikenal oleh umat diperintahkan untuk mengatakan kepada para tua-tua orang
Israel bahwa “Yahweh ... telah menampt Tuhan? Firman Tuhan
yang sering menjadi acuan dalam menjawab pertanyaan kapan nama Yahweh digunakan
oleh umat Tuhan adalah Keluaran 6:1-2. Ada dua pandangan utama yang berbeda
dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa nama
Yahweh pertama kali dikenal oleh umat Tuhan, yaitu pada saat Musa dipanggil
Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Tuhan memilih dan memanggil Musa
untuk menjadi alat-Nya. Tuhan mempersiapkan Musa untuk menjadi pemimpin atas
umat-Nya keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan sesuai yang telah
dijanjikan-Nya.[5]
Bahasa yang digunakan dalam Keluaran 6:1-2 menurut pandangan ini jelas
menunjukkan Yahweh sebagai nama khas untuk Israel yang baru diperkenalkan
kepada Musa. Timbul pernyataan dari
Yosephus, sejarawan Yahudi yang hidup pada abad pertama, yang menegaskan bahwa
Musa adalah orang pertama yang menerima pernyataan tentang nama YHWH. Lalu
muncullah keberatan mengenai pernyataan ini, yang mengatakan bahwa pada masa
Enos anak Set juga sudah memanggil nama YHWH (Kejadian 4:26). Karena itu,
pemahaman mengenai Kejadian 4:26 secara benar perlu dimengerti, pengertian
“memanggil nama Tuhan” itu secara harafiah ataukah memiliki arti yang lain ?
Baker
memiliki jawaban atas pertanyaan ini. Menurutnya, kata “memanggil” berasal dari
kata Ibrani (qara) yang artinya memanggil, mendeklarasikan, menghadirkan, mengundang,
dipanggil, memohon. Contoh, dalam Kejadian 3:9, “Tetapi Tuhan Allah memanggil
manusia itu dan berfirman kepadanya: dimanakah engkau?” Menurut Baker, ayat ini
memiliki pengertian menghadirkan keberadaan Adam dihadapan-Nya. demikian juga,
Kejadian 4:26, menurutnya, menjelaskan suatu kegiatan penyembahan kepada Tuhan
yang telah ada sejak zaman Kain dan Habel (bdk Kej 4:3-4), yang kemungkinan
kegiatan penyembahan mereka itu tidak menggunakn kata-kata. Ayat ini (Kej 4:26)
menunjukkan secara teratur, yaitu orang-orang mempersembahkan atau mengucapkan
doa dan ucapan syukur yang ditujukan kepada Tuhan pada masa Enos. Jadi,
penekanannya bukan penyebutan nama YHWH secara harfiah, tetapi pada persembahan
doa dan ucapan syukur kepada pribadi yang disembah. Penafsiran ini cocok dan
harmonis dengan idiomatik Ibrani mengenai kata ‘nama’. Dengan demikian,
penyataan sejarawan Yosephus bahwa nama YHWH baru dinyatakan pertama kali
kepada Musa seperti yang dinyatakan dalam Keluaran 6:2 bisa dimengerti. Hal lain
yang perlu dipertimbangkan bahwasanya Musa adalah penulis kitab Kejadian, tidak
mengherankan apabila nama YHWH tertulis dalam kitab Kejadian tersebut.
Kedua,
pandangan yang menyatakan bahwa nama Yahweh adalah nama yang sudah ada sejak
kekekalan, yang kemudian dinyatakan kepada manusia dan terus diperintahkan
untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. argumentasi pandangan ini adalah
oleh karena bumi pada masa itu hanya memiliki satu logat saja (Kej 11:1). Hal
tersebut dijadikan bukti oleh kalangan ini untuk menyatakan bahwa induk bahasa
manusia dibumi adalah bahasa Ibrani; dengan demikian, sudah tentu bahasa Ibrani
adalah bahasa yang digunakan oleh Sang Pencipta untuk berkomunikasi kepada
Adam. Selanjutnya menurut pandangan ini terdapat bukti di dalam kitab Kejadian
(Kej 15:7; 26:24; 28:13) bahwa YHWH sudah dikenal oleh Abraham,Ishak dan Yakub
dalam karakter nama El Shadday bukan dengan karakter nama Yahweh.[6] Pembebasan umat Israel dari Mesir merupakan
karya terbesar sepanjang zaman Perjanjian Lama. Karya ini menyatakan bahwa YHWH
yang memelihara kehidupan umat-Nya. .[7]
Nama
Yahweh sebagai ciri agama Israel
Ciri
khas agama Israel dapat diringkaskan dalam satu kata, yaitu nama “Yahweh”. Kata
inilah yang mejadi nama utama dalam pelukisan agama Israel sepanjang Alkitab
dan lebih sering dipakai daripada kata benda atau kata kerja lainnya. Diduga
nama Yahweh dipakai lebih dari 6.800 kali (bnd. Dengan istilah umum untuk
Allah, yaitu Elohim yang terdapat hanya 2.500 kali). Dalam naskah zaman
pra-pembuangan sekalipun, nama Yahweh adalah nama Allah yang paling sering
dipakai. Nama Yahweh dominan juga dalam agama Israel Utara. Bahan statistik itu
sesuai juga dengan kesan yang lebih umum yang kita peroleh dari naskah-naskah
kuno, yaitu bahwa status Yahweh dalam agama Israel adalah mutlak. Perjanjian
Lama menggunakan berbagai nama untuk Allah: kadang-kadang Dia disebut El, Elohi, Eloah, Adonay, namun selalu
yag dimaksudkan ialah Yahweh. Tidak disangkal adanya ilah-ilah (allah-allah)
lain, tetapi sudah jelas bahwa ilah (allah) lain itu tidak dapat dibandingkan
dengan Yahweh.
Konsep
ketidaksetaraan dalam Perjanjian Lama hanya dikenakan kepada Yahweh. Yahweh
tidak bersabar hati terhadap saingan. Menurut istilah Alkitab, Dialah “Allah
yang cemburu”, itu berarti bahwa di dalam agama Israel terdapat suatu unsur
intoleransi, yang pada pokoknya asing bagi agama-agama politeisme yang berlaku
di Asia Barat Daya Kuno. Memang pada dasarnya politeisme merupakan aliran yang
toleran yang bersifat relatif dan sinkretis. Dalam agama Israel terdapat suatu
intoleransi. Hal itu disebabkan karena Allah yang menyatakan diri di dalam
agama-agama tersebut, adalah Allah yang mutlak, absolut, yang tuntutan-Nya
mutlak kepada mereka yang percaya kepada-Nya.[8]
Sejak
munculnya Yahwisme di atas panggung sejarah sampai pada masa kini, unsur
intoleransi ini telah tampak. Hal itu membawa penganut agamanya pada suatu
sikap imperialis terhadap agama-agama lain. Pada prinsipnya, agama-agama lain
itu ditolak mesikpun ada unsur-unsur tertentu yang dapat diambil alih dari
agama saingan itu serta dimasukkan ke dalam Yahwisme. Segera setelah Yahwisme
bertemu dengan agama lain, timbullah suatu pergumulan dan dalam proses
pergumulan itu ada berbagai unsur yang disesuaikan dengan Yahwisme, sedangkan
unsur-unsur lain ditolak. Proses ini tentu memerlukan waktu yang lama bahkan
berlangsung selama berabad-abad; mungkin dapat dikatakan bahwa proses ini tidak
pernah selesai, hanya terputus dengan tiba-tiba pada zaman pembuangan. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Yahwisme mempunyai ciri khas sendiri.
B.
Sifat
Agama Israel
Meskipun
agama Israel mempunyai banyak titik persamaan dengan agama-agama disekitarnya,
namun pada pokoknya agama Israel merupakan sesuatu yang unik. Nadanya khas
walaupun kekhasan itu sukar disebut karena sangat kompleks. Bleeker menyebut
ciri khas itu sebagai “suatu rasa khusyuk yang sangat mendalam, berhadapan
dengan kekudusan Allah.” Van den Leeuw menyebut agama Israel sebagai “agama
yang bercirikan kehendak dan ketaatan”, sedangkan Von Rad dan orang-orang lain
menekankan “kesejarahan historisitas” yang merupakan “tulang punggung” agama
Israel. Jadi pada pokoknya, bila ingin mencakup kekhasan agama Israel secara
keseluruhan, maka tinggal menyebut nama “Yahweh” saja. Agama Israel sendiri
merupakan suatu kenyataan yang beraneka ragam.
C.
Perkembangan
Yahwisme di Kanaan: Tiga Pola
1. Yahwisme
resmi
a. Yahwisme:
pembimbing baru untuk suku-suku Israel Kuno
Yahwisme
memberikan isi
dan makna baru dalam kehidupan suku-suku Israel, yaitu bimbingan oleh Yahwe dan
Tora (atau petunjuk Yahwe). Di atas sering disebut bahwa gairah rohani yang
tampak dalam Yahwisme lain daripada apa yang terdapat dalam agama para
patriarkh, yakni dalam kepercayaan kepada Theos Patroos, dan dalam agama El.
Selama periode para patriarkh titik-titik kontras antara suku-suku Israel
dengan kaum Kanaani terletak dalam bidang sosial, namun dengan tampilnya
suku-suku Yahwis tampak juga titik-titik kontras yang bersifat agamani. Ada
berbagai hal yang menjadi terlarang atau yang diharuskan bagi kelompok-kelompok
Israeli, hal-hal yang dulu dianggap tidak bersangkut paut dengan bidang agama.
b. Yahwisme:
sumber inspirasi untuk oknum-oknum karismatis
Dinamika
Yahwisme yang baru itu tampak terutama bila oknum-oknum karismatis muncul di
bawah bimbingan Roh Yahweh, misalnya Debora dan beberapa orang di antara para
hakim. “Pengerohan” (Pemenuhan atau penyemangatan) dengan “ruah Yahweh”, yang
menyanggupkan oknum-oknum karismatis itu mengerjakan karya penyelamatan yang
hebat, tampak sebagai suatu ciri khas Yahwisme. Pengerohan itu juga membawa
mereka memerangi kuasa-kuasa rohani non-Yahwistis, misalnya ibadat Baal (Hak
6), dan pemujaan terhadap ilah-ilah asing (Hak 5:8). Unsur tradisi ini pastilah
otentik dengan Ruakh Yahweh berkuasa dan oknum karismatis itu menghadapi
penentang-penentangnya di bawah pengaruh Roh Yahweh, sehingga tidak ada tempat
lagi untuk ilah-ilah lain. Adalah masuk akal juga kalau oknum-oknum karismatis
itu menarik kesimpulan bahwa Yahweh sajalah yang berhak atas gelar “Raja”, sehingga
gelar tersebut tidak patut diberikan kepada manusia (Hak 8:22 dyb; 9:8 dyb).
Dalam perkembangan selanjutnya (periode Samuel 1-8), ide-ide itu masih kuat.
Agaknya, bukan hanya agama kanaani yang ditolak, tetapi konsep kerajaan juga
yang memegang erat hubungannya dengan agama tersebut.
Ada
banyak titik pertentangan yang mutlak antara Yahwisme dengan agama Kanaani. Ada
peraturan ketat yang melarang berpartisipasi dalam kultus ilah-ilah lain (Kel
22:20; 23:13 bnd. Bil 25:4), dan pertenungan (Kel 22:18). Hukum-hukum tertentu
mendobrak bentuk-bentuk kultus Kanaani (Kel 23:18). Oleh karena itu, berbagai
peraturan mengenai kesucian dan kenajisan yang kita temui dari periode kemudian
(mis. Ul 14; Im 11), pastilah berasal dari penolakan terhadap kultus Kanaani
itu. Misalnya, larangan makan daging ular dan babi, larangan melakukan beberapa
adat istiadat perkabungan dan sebagainya.
c. Kekhasan
Yahwisme dalam bidang sosio-agamani
Dimana suku-suku Israel hidup setia kepada amfiktioni
yang sudah berdiri berdasarkan Yahwisme itu, tampaklah bahwa ada suatu jurang
rohani antara mereka dengan kaum Kanaani, sedangkan jurang yang ada itu
hanyalah bersifat sosial. Albright mengutip bahan bukti dari bidang arkeologi
tentang hal ini. Dia mencatat bahwa dalam lapis-lapis Israeli kota kuno yang
telah digali secara arkeologis, yaitu Betel, Gibea, Mizpa,Silo,dll, sama sekali
tidak terdapat patung-patung perlambang Astarte atau jimat-jimat, kecuali di
Tel Bait Mirsim, dan hanya terdapat lima jimat dari seluruh periode tahun
1200-980 sM. Bahkan, adanya lima jimat tersebut karena letak Tel Bait Mirsim di
perbatasan wilayah Israel, sehingga kontak dengan suku-suku luar relatif sering
terjadi di sana.
d.
Yahwisme:
penghancur kerukunan sosio-agamani yang kuno
Dengan demikian jelaslah bahwa Yahwisme memecahkan
kesatuan rohani, yang berabad-abad lamanya sudah terdapat antara
dunia kebudayaan Kanaani dengan suku-suku Israel yang sudah lama tinggal di
Kanaan. Namun, kita harus mencatat bahwa walaupun pada umunya Yahwisme menjalar
dengan cepat di antara suku-suku Israel kuno itu, di sana-sini timbul gejala-gejala perlawanan.
Sudah jelas misalnya, bahwa ada ketegangan timbul di daerah sekitar sikhem,
yang disatu pihak merupakan pusat amfiktioni mula-mula, sedangkan dipihak lain,
proses asimilasi antara suku-suku Israeli Kuno dengan kaum Kanaani, itu sudah
agak lanjut di Sikhem. Dapat dipastikan bahwa tempat-tempat keramat kuno yang
memiliki kuil-kuil El dan Baal (mis Betel, Sikhem,Dan,Tabon,Beryeba, Hebron),
tidak tunduk seratus persen kepada Yahwisme atau hanya secara lahiriah saja
menyesuaikan diri dengan kultus Yahweh. Agaknya, bentuk-bentuk kultus yang kuno
bertahan lama di kota-kota tersebut.
2.
Yahwisme
rakyat
Serentak dengan proses kemajuan Yahwisme itu, terdapat
juga suatu proses asimilasi yang mempunyai arti besar. Sebagai contoh, kita
sebutkan kasus-kasus, ketika nama Baal dikenakan kepada Yahweh. Misalnya
terdapat nama-nama anggota keluarga Saul, Isybaal dan Mefibaal, dan nama
seperti Yerubaal, dan sebagainya. Sudah tentu proses asmilasi lebih pengaruh
diantara rakyat jelata dari pada dikuil-kuil baru, atau diantara
pejabat-pejabat amfiktioni, di antara keturunan kelompok Yahwistis, dan di
antara pemimpin-pemimpin agama Yahwisme.
3.
Yahwisme
Agresif
a. Yahwisme
yang agresif: landasan “perang Yahweh”
Kelompok-kelompok pembela Yahwisme, yang berkumpul
disekitar Musa itu, di kemudian hari menghasilkan pembelaan dan pengajar hukum
agamani (Ul. 33:8). Agaknya, kaum Yahwis yang militan seperti itu mula-mula
tidak bersifat agresif terhadap dunia luar, tetapi mengarahkan perhatiannya
pada kaum Israel sendiri. Namun, kegairahan mereka itu menyadarkan dan
mempersiapkan suku-suku Israel, sehingga mereka bersiap-siap mempertahankan
diri terhadap perlawanan, dengan keyakinan bahwa usaha pembelaan diri itu
berarti turut serta dalam “perang Yahweh” sendiri.
1) “Perang
suci” atau “perang Yahweh”?
Ya, tentunya tidak ada teori perang suci di Israel,
kecuali dalam periode terakhir dalam sejarahnya, yaitu dalam naskah Qumran yang
berjudul perang anak-anak terang melawan
anak-anak kegelapan. Namun, pada periode awal (yaitu periode padang gurun),
praktik perang suci jelas ada, walaupun mereka tidak memainkan peranan penting.
Istilah “perang Yahweh” itu mula-mula dipakai sehubungan dengan perang melawan
Moab ketika Israel akan masuk ke negeri Kanaan. Jelas dari Bilangan 21:14 bahwa
perna ada naska dengan judul Kitab
Peperangan Yahweh. Satu-satunya istilah yang dipakai dalam riwayat-riwayat
konkret ialah “peperangan Tuhan”, sedangkan istilah itupun hanya terdapat dalam
1 Samuel 18:17 dan 1 Samuel 25:28. Itu berarti bahwa istilah tersebut berlaku
pada zaman Daud.
2) Ciri-ciri
perang Yahweh
Istilah bahwa Yahweh adalah “Pahlawan perang” makin
populer di kalangan amfiktioni. Sebelum pertempuran dimulai, para pejuang
meminta orakulum Yahweh, para penyair melontarkan kutukan terhadap musuh, dan
para pejuang dihibur dengan nyanyian-nyanyian kemenangan Yahweh. Sejatah perang
disucikan sebagai persiapan, dan para pejuang menyucikan diri dengan
menghindarkan diri dari hubungan seksual.Yahweh sendiri mengawali barisan
perang. Teriakan “demi Yahweh dan demi pemimpin” diseruhkan, kemudian para
pejuang langsung bertempur. Dalam suatu pertempuran yang sangat berbahaya
pasukan perang mengangkat sumpa, dan sehabis perang, rampasannya diserahkan kepada
Yahweh dan dimusnakan sebagai korban bagi-Nya, atau disumbangkan kepada bait.[9]
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas , mengenai “Perkembangan Yahweisme di Kanaan” ,
kelompok mengambil kesimpulan bahwa dari pernyataan, bukti-bukti dan penggalian
sejarah menunjukkan bahwa kata YHWH adalah bukti yang otentik mengenai nama
pribadi Allah Israel yang tercatat dalam naskah-naskah Perjanjian Lama
Ada
dua pandangan kapan nama YHWH dinyatakan, yakni Yahweh
pertama kali dikenal oleh umat Tuhan, yaitu pada saat Musa dipanggil Allah
untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Kemuidan, bahwa nama Yahweh adalah nama
yang sudah ada sejak kekekalan, yang kemudian dinyatakan kepada manusia dan
terus diperintahkan untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. argumentasi
pandangan ini adalah oleh karena bumi pada masa itu hanya memiliki satu logat
saja (Kej 11:1).
Ciri
khas agama Israel dapat diringkaskan dalam satu kata, yaitu nama “Yahweh”. Kata
inilah yang mejadi nama utama dalam pelukisan agama Israel sepanjang Alkitab
dan lebih sering dipakai daripada kata benda atau kata kerja lainnya. Diduga
nama Yahweh dipakai lebih dari 6.800 kali. Sejak munculnya Yahwisme di atas
panggung sejarah sampai pada masa kini, unsur intoleransi ini telah tampak. Hal
itu membawa penganut agamanya pada suatu sikap imperialis terhadap agama-agama
lain. Pada prinsipnya, agama-agama lain itu ditolak mesikpun ada unsur-unsur
tertentu yang dapat diambil alih dari agama saingan itu serta dimasukkan ke
dalam Yahwisme.
Perkembangan
Yahwisme di Kanaan ada tiga Pola, yakni : Yahwisme resmi, Yahweisme Rakyat, Yahweisme
Agresif.
ANALISIS
Jadi dalam perkembangan Yahwisme di Kanaan, bangsa Israel
beberapakali berperang dengan kaum-kaum yang bertentangan dengan paham Yahwisme
dari bangsa Israel. Dalam perkembangan Yahwisme di Kanaan oleh bangsa Israel ada
banyak titik pertentangan yang mutlak antara Yahwisme dengan agama Kanaan. Ada
peraturan ketat yang melarang berpartisipasi dalam kultus ilah-ilah lain. Hukum-hukum tertentu mendobrak bentuk-bentuk kultus
Kanaan. Oleh karena itu, berbagai peraturan mengenai kesucian dan kenajisan
yang kita temui dari periode kemudian,
pastilah berasal dari penolakan terhadap kultus Kanaan itu. Misalnya, larangan
makan daging ular dan babi, larangan melakukan beberapa adat istiadat
perkabungan dan sebagainya.
Keseluruhan upaya yang dilakukan bangsa Israel di tanah
Kanaan itu semua untuk mempertahankan kepercayaan/paham Yahwisme oleh bangsa
Israel di tanah Kanaan, Yahwisme sangat di pertahankan oleh bangsa Israel,
karna pada saat itu Israel sangat menghargai Allah yang mereka sembah, Allah
yang membebaskan bangsa mereka dari tanah perbudakan, dan menuntun sampai ke
tanah perjanjian yaitu tanah Kanaan, dan tuntunan Allah terhadap mereka,
melawan prajurit Firaun, melewati laut Kolson/teberau, dan Allah menyertai
mereka dengan tiang awan saat siang hari dan tiang api saat malam hari, itulah
yang menjadi pokok iman kepercayaan dan pujih-pujian dari bangsa Israel.
1.
Disebut Perang Yahweh, karna Allah adalah pahlawan perang.
Apakah perang yang terjadi di kanaan itu di kehendaki oleh Allah, atau hanya
salah satu strategi dari bangsa Israel ?
2.
Apakah Yahwisme memiliki peraturan tersendiri yang di
pertahankan untuk menduduki tanah Kanaan, atau ada beberapa peraturan dari agama-agama
lain di kanaan yang di masukan kedalam peraturan Yahwisme ?
3.
Apakah Israel berhasil menduduki seluruh daerah kekuasaan
di tanah kanaan ?
4.
Bagaimana dengan agama-agama lain yang sudah terlebih
dahulu ada di Kanaan, apakah mereka bergabung dengan Yahwisme atau mereka
keluar dari tanah kanaan ?
5.
Apakah kepemerintahan di Kanaan di ganti dengan orang-orang
dari bangsa Isra
[1] OKY OTTO, History
of YHWH (Yogyakarta:ANDI,2013), hal 24-25
[2] W.S.LaSor,dkk, Pengantar
Perjanjian Lama 2 (Jakarta:Gunung Mulia,2011), hal 167
[3] Tremper Longman III, Memahami Perjanjian Lama (Malang:Literatur SAAT,2001), hal 67
[5] Dr.C.Barth, Theologia
Perjanjian Lama 2 (Jakarta:Gunung Mulia,1982), hal 8
[6] W.S.LaSor,dkk,
Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta:Gunung Mulia,2000)hal 194
[7] OKY OTTO, History
of YHWH (Yogyakarta:ANDI,2013), hal 74-78
[8] TH.C.Vriezen, Agama
Israel Kuno (Jakarta:Gunung Mulia,2006) hal.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar