Minggu, 23 November 2014

Mini Skripsi SAKRAMENTOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Gereja sebagai persekutuan orang kudus, bukan terdiri dari orang-orang suci sempurna, yang tanpa cela, melainkan terdiri dari orang-orang berdosa yang dikuduskan oleh Allah dan yang dipanggil supaya menguduskan diri juga. Oleh karena keadaannya yang demikian itu maka hidup para orang beriman penuh dengan pergumulan, yaitu pergumulan antara manusia yang lama dengan manusia yang baru, antara cara hidup yang lama yang dikuasai dosa dan cara hidupa yang baru yang dikuasai Roh Kudus. Di dalam pergumulan itu, orang beriman memerlukan sarana guna menguatkan imannya, supaya ia dapat menghadapi segala tipu daya iblis dan berpegang kepada segala janji Allah yang diberikan di dalam Injil. Sebagai sarana guna menguatkan iman itu, Allah memberikan: pelayanan firmanNya dan pelayanan sakramen. [1]
Setiap Gereja pasti memiliki sebuah doktrin, khususnya doktrin yang terkait dengan hal sakramen sebagai salah satu doktrin fundamen dalam sebuah gereja. Gereja sebagai sebuah persekutuan persaudaraan dan keimanan, menjadi sebuah keniscayaan, di dalamnya terdapat ritus-ritus sakramen. Dalam sakramen, rahmat (cinta Allah) disampaikan secara konkret melalui tanda-tanda badaniah atau sombol-simbol. [2]
Sakramen-sakramen yang dikenal sekarang dalam sejarah Gereja dimulai sebagai praktek, tidak lahir sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Sejatinya, sejak awal hidup Gereja memang terdapat ritus sakramen-sakramen yang dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hidup Gereja, dan dipandang penting dan mutlak perlu untuk hidup Gereja. [3]
Gereja sebagai kesatuan para orang beriman (tubuh Kristus) dan bagaimana orang beriman dijadikan berpartisipasi dengan tubuh Kristus itu, alat keselamatan yang dipergunakan oleh Tuhan Allah, baik untuk membawa orang masuk ke dalam persekutuan tubuh Kristus, maupun untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik mereka yang telah menjadi anggota tubuh itu. Adapun yang dimaksud dengan “alat keselamatan” adalah jalan atau alat lahiriah yang biasa dipakai Roh Kudus untuk menerapkan buah karya penyelamatan Kristus guna mengumpulkan dan memelihara GerejaNya. [4]
          Jikalau Gereja melayankan baptisan kudus, hal itu bukanlah karena Gereja suka membuat aturan yang demikian, melainkan karena diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dalam Mat. 28:19,20 tersebut, perintah Tuhan Yesus yang mengenai baptisan itu terdapat juga dalam Mrk. 16:16. Sekalipun demikian, baptisan kudus ini sebenarnya bukan peraturan yang baru. Sebab orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus telah mengenal baptisan juga. Para orang kafir yang ingin menjadi umat Allah dengan masuk menjadi yahudi, harus dibaptiskan terlebih dahulu. Bahkan upacara baptisan ini terdapat juga ditengah-tengah bangsa-bangsa lainnya. Demikian juga ketika Yohanes pembaptis mulai bekerja, ia membaptiskan para orang Yahudi. Baptisan Yohanes pembaptis memang dilayankan atas nama Tuhan Allah. sebab Yohanes memang diperintahkan oleh Tuhan Allah supaya membaptiskan para orang Yahudi (Yoh. 1:33; Luk . 3:2). Oleh karena itu maka baptisan Yohanes memang berdasarkan perintah Tuhan Allah . Tuhan Yesus sendiri juga mengakui baptisan Yohanes ini (Mat. 21:35; Mrk. 11:30,33). Menurut Tuhan Yesus, menolak baptisan Yohanes berarti menolak Tuhan Allah sendiri (Luk. 7:30). [5]
          Sejatinya, sudah disadari cukup lama dalam sejarah teologi sakramen bahwa, sakramen-sakramen ditempatkan dalam konteks penyampaian rahmat keselamatan kepada seluruh umat kristiani. Sejak abad pertengahan, dalam sejarah teologi sakramen, sakramen-sakramen hanya dilihat sebagai sarana atau saluran rahmat. Rahmat itulah yang menjadi daya guna sakramen-sakramen. orang berpikir bahwa rahmat yang diberikan dalam sakramen berasal dari Allah. Rahmat Allah tersebut dibagikan melalui sakramen-sakramen sebagai salurannya. Menerima sakramen berarti menerima rahmat. Rahmat dibayangkan sebagai sesuatu yang bisa disalurkan. Jadi, sekali lagi sakramen-sakramen itu dipandang sebagai saluran atau alat Tuhan untuk membagikan rahmatNya. Bilakita menerima rahmat sakramen-sakramen, sama saja kita bersatu dengan Allah sendiri, kita menjalin hidup bersama Allah.
          Sebab, bila sakramen-sakramen itu dirayakan, maka Allah melalui Kristus hadir sendiri dan manawarkan persahabatan dan kesatuan hidup kepada kita. Pada saat perayaan sakramen-sakramen itu, terjadilah pertemuan dan kebersamaan antara Allah dan umatNya melalui  simbol-simbol sakramental. Melalui Kristus, Allah hadir di tengah umatNya dan umat beriman menghadap  Allah melalui Kristus. [6]
          Peristiwa pertemuan itu berlangsung dalam simbol-simbol sakramental. Dalam diri Yesus Kristus, Allah dan umatNya saling berjumpa dan berkomunikasi. Allah yang mahakuasa dan sekaligus maha cinta berhadapan dengan umatNya yang rapuh dan lemah. Melalui Yesus Kristus yang hadir dalam Roh Kudus, Allah menyelamatkan dan menguduskan umatNya dan umat beriman memuliakan Allah sebagai tanggapannya. Seluruh peristiwa komunikasi dan pertemuan itu sekali lagi berlangsung dalam bentuk tanda atau simbol, dan itulah sakramen-sakramen Gereja. [7]
          Dalam sebuah Gereja, sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keseluruhan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.
          Sakramen yang dimaksud dalam Gereja adalah Baptisan dan Perjamuan Kudus sebagai “pengontrol keanggotaan” bagi Gereja. Baptisan adalah sarana untuk mengakui keanggotaan seseorang di suatu Gereja dan Perjamuan Kudus merupakan sarana yang menandakan bahwa seseorang melanjutkan keanggotaannya dalam Gereja tersebut – Gereja menunjukkan bahwa mereka yang menerima Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah yang menerima keselamatan.
          Oleh karena itu, pelaksanaan kedua sakramen ini menunjukkan bahwa Gereja memikirkan keselamatan dan mereka terdaftar secara jelas, yang juga menjadi tanda dari Gereja masa kini. Kendati sedemikian pentingnya dan bermaknanya sebuah sakramen, tetapi hal ini berbeda dengan apa yang dipersepsi dan diyakini oleh Gereja Pantekosta di Indonesia. Menarik dan uniknya, Gereja Pantekosta tidak mempraktekkan sakramen-sakramen, khususnya secara formal, dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol.

B.   PERUMUSAN MASALAH

1.   Bagaimana pemahaman Jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE mengenai sakramen?
2.   Bagaimana pemahaman Jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE mengenai sakramen baptisan kudus?

C.   MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan dengan manfaat penulisan diatas, maka manfaat penulisan mini skripsi  ini adalah:
1.    Kiranya warga gereja dapat lebih memahami tentang sakramen
2.     Kiranya warga gereja dapat lebih memahami tentang sakramen baptisan kudus.
D. Sistematika Penulisan
            Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi mini skripsi ini menjadi lima bab dan setiap babnya tersusun dari tiap-tiap sub bab. Jadi, secara sistematis penulisan mini skripsi ini disusun sebagai berikut:
Bab Pertama; berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab Kedua; lebih banyak menjelaskan tentang Definisi Sakramen, Pengertian & Makna Sakramen, Asal-Usul Sakramen, Sakramen dalam Gereja Protestan, Pengertian Baptisan, Baptisan Dalam Alkitab, Cara-cara Baptisan Dasar pelaksanaan baptisan.
          Bab Ketiga; Memaparkan METODE Penelitian, Tujuan Penelitian, Tahapan Penelitian, Metode Penelitian: Kualitatif, Analisis Data.
          Bab Keempat; Memaparkan Hasil Penelitian Antara Lain: Hasil Temuan, Refleksi Yang Sistematis,.
          Bab kelima: penutup, yang berisi Kesimpulan Dan Saran.



BAB II
KAJIAN TEORI
A.   Pengertian & Makna Sakramen
Kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata latin, sacramentum. Kata latin sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berarti: kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Kata latin sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau mengkhususkan sesuatu atau sesaorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata sakramen menunjuk tindakan penyucian itu ataupun hal mengkuduskan. [8]
Kata “sakramen” tidak diambil dari Alkitab, melainkan dari adat istiadat Roma, yaitu dari kata sacramentum. Kata ini memiliki dua arti, yaitu : (a) sumpah prajurit, yaitu sumpah kesetiaan yang harus diucapkan oleh seorang prajurit di hadapan panji-panji kaisar, (b) uang tanggungan, yang harus diletakkan di kuil oleh dua golongan yang sedang berperkara. Siapa yang kalah di dalam perkara itu akan kehilangan uangnya. oleh karena itu maka kata”sakramen” (yang dijabarkan dari kata sacer = kudus) mengandung juga arti : perbuatan atau perkara yang rahasia, yang kudus, yang berhubungan dengan para dewa. Berhubung dengan itu maka kata sacramentum kemudian dipandang sebagai terjemahan dari kata Yunani mysterion. Di dalam Gereja semula yang disebut sakramen adalah segala rahasia yang bersangkutan dengan Tuhan Allah serta penyataanNya, yaitu: upacara-upacara kebaktian, dan lain-lainnya. [9]
Sakramen juga berarti tanda dan sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia. Sakramen dimaksudkan “untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”. sakramen-sakramen ini datang dari Kristus, yang berkarya di dalam Gereja melalui Roh Kudus dan sungguh menyelamatkan umat beriman. Sebagai tanda dan sarana keselamatan, sakramen hendaknya diterima berdasarkan iman. Sakramen biasanya diungkapkan dengan kata-kata dan tindakan. Dalam semua sakramen selalu mengandung dua unsur yang hakiki, yaitu forma (kata-kata yang menjelaskan peristiwa ilahi) dan materia (barang atau tindakan tertentu yang kelihatan). Sakramen-sakramen inilah yang dirayakan oleh Gereja dan di dalam Gereja, karena Gerejasendiri diyakini sebagai sakramen, yaitu “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. [10]
      Dengan kata lain, sakramen adalah ritus Agama Kristen yang menjadi perantara (menyalurkan) rahmat Ilahi yang secara harfiah berarti “menjadikan suci”. Artinya, sakramen sebagai tanda dan sarana yang menghadirkan dan menyalurkan rahmat atau sebagai tanda yang melaksanakan apa yang ditandakan.[11]
      Bahkan sakramen bisa diartikan sebagai suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. sehingga dengan menerima sakramen, seseorang berjanji unutk hidup setia kepada Yesus Kristus. Atau sebagai sumpah kesetiaan orang-orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
      Dalam definisi lain bisa menjelaskan sakramen sebagai tanda dan materai yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dijanjikan-Nya. Tanda dan materai yang meneguhkan iman.[12]
Artinya, sakramen bisa dikatakan sebagai:
a.    Tanda-tanda yang kelihatan dari yang tidak kelihatan dari suatu hal suci: atau wujud yang kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan; Firman yang kelihatan.
b.    Tanda dan materai yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh Tuhan Allah, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dijanjikan –Nya supaya iman kita dikuatkan,
c.    Ditetapkan Tuhan Allah untuk menguatkan persekutuan sesama anak-anak Allah. sakramen memberikan anugerah dan menguduskan seseorang. Cara untuk mempersatukan seseorang (manusia) dengan Kristus, dan mempertahankan persatuan itu.  
Jadi, sakramen adalah upacara atau ritus dalam agama Kristen (Katolik dan Protestan) yang menjadi mediasi, dalam arti menjadi simbol yang terlihat atau manifestasi dari Rahmat Tuhan yang tak tampak. Artinya, Sakramen sebagai tanda dan sarana yang menghadirkan dan menyalurkan rahmat atau sebagai tanda yang melaksanakan apa yang ditandakan.
            Di samping itu, sakramen harus dirayakan dengan pantas sesuai dengan norma-norma Gereja dan dalam iman, kita percaya bahwa Sakramen tersebut mendatangkan rahmat seperti yang dinyatakannya. Sementara seorang manusia yang melayani sakramen Kristus sendiri yang bekerja di dalamnya: Ia yang membaptis, Ia yang menguatkan, Ia yang mengampuni, Ia yang mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh-Nya dan Darah-Nya. Ia sendiri bertindak dalam sakramen-sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat – memberikan kehidupan ilahi dan cinta Allah – yang ditawarkan melalui setiap Sakramen (Katekismus Gereja Katolik no. 1127-1128).
            Kebanyakan sakramen terkait dengan tanda jasmani yang dapat dirasakan atau dicicipi : air, minyak, roti, anggur. Maka, sakramen dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk liturgi dalam bentuk yang telah dikosentrasikan : maknarohani yang tinggi dari kasih Allah dialami dalam tanda-tanda yang sungguh manusiawi dan duniawi. Tanda-tanda itu adalah pewahyuan rahasia Allah dalam kemanusiaan dan keduniawian dari keberadaan kita merupakan rahasia dari seluruh iman dan liturgi. [13]


B.   Asal-Usul Sakramen
Membincang asal-usul Sakramen, diakui ataupun tidak, cukup memberikan kesulitan tersendiri. Kendatipun demikian, dpat dikatakan bahwa perkataan sakramen itu telah dipakai oleh Jemaat sejak abad yang pertama untuk mengatakan kumpulan orang yang diperbolehkan hadir dan turut ambil bagian dalam perjamuan kudus, dan waktu baptisan kudus dilayani.
Perkataan sakramen itu artinya: hal yang tersembunyi atau dirahasiakan dan dikuduskan. Perkempulan jemaat pada waktu dahulu itu memang dirahasiakan juga, dan hanya dapat dihadiri oleh mereka yang dapat ambil bagian saja. Kemudian, “sakramen” itu dipakai juga untuk mengatakan segala sesuatu yang diperbuat di dalam perkumpulan ibadat. Sehingga sejumlah dari sakramen itu sampai lama sekali tidak tentu. Ada yang mengatakan ada 30, dan ada juga yang hanya menerima 2 saja, pun ajuga ada yang mengataan 12. Akhirnya, di konsili yang berhimpun di Trente, Gereja Roma Katolik itu menetapkan bahwa sakramen itu ada 7. [14]
Artinya, sakramen-sakramen yang kita kenal dimulai dalam sejarah gereja sebagai praktik, tidak lahir sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. [15] karena itu, titik tolak menemukan sumber teologi sakramen adalah praktik perayaan sakramen dalam hidup gereja perdana.
Sejak awal hidup gereja terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hidup gereja, dan dipandang penting da mutlak perlu untuk hidup gereja. Ritus-ritus awal itu antara lain ritus pembaptisan dan pemecahan roti atau ekaristi. Sebagian besar unsur ritus itu diambil dari kelompok agama lain, khususnya Agama Yahudi. [16]
Secara konkrit ekaristi berkembang dari suatu perayaan kekeluargaan menjadi kebaktian jemaat, sebab ekaristi berasal dari perjamuan terakhir Tuhan Yesus, dan Tuhan Yesus merayakan perjamuan itu sesuai dengan adat kebiasaan Yahudi. Maka, titik pangkal bentuk perayaan ekaristi yang sesungguhnya adalah perjamuan keagamaan di kalangan keluarga Yahudi. [17]
Begitu juga halnya dengan baptisan kudus, sebenarnya sudah dikenal oleh orang Yahudi sejak lama. Para orang kafir yang ingin menjadi umat Allah dengan masuk menjadi Yahudi harus dibaptiskan terlebih dahulu. Bahkan upacara baptisan ini terdapat juga di tengah-tengah bangsa lain. Baptisan para orang kafir yang masuk menjadi umat Allah disebut baptisan proselit, dan ini merupakan peraturan Agama Yahudi. [18]
Pada dasarnya, hal paling mendasar bukanlah terletak pada hal apa yang telah diambil alih dari tradisi Agama Yahudi atau terletak pada hal apa yang telah diambil alih dari tradisi Agama Yahudi atau apa yang diciptakan baru oleh Gereja perdana, tetapi hal terpenting terletak pada arti dan substansi dari ritus-ritus itu sendiri yang telah berbeda atau berubah dari tradisi Yahudi menjadi tradisi yang bersifat khas Kristiani sejak permulaan.


C.   Sakramen dalam Gereja Protestan
Gereja Protestan memiliki perbedaan perspektif dan persepsi dengan Gereja Roma Katolik mengenai sakramen dalam segi kuantitasnya. Gereja Protestan meyakini hanya ada dua sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Perbedaan jumlah ini bukan hanya terletak pada perbedaan bilangan saja, melainkan lebih terletak pada pengertian mengenai hakekat sakramen. Menurut Gereja R.K, hakekat sakramen terletak di dalam hal yang berikut, yaitu bahwa sakramen mencurahkan karunia yang adikodrati ke dalam eksistensi manusia. Sedang menurut Gereja-gereja Reformasi hakekat sakramen yaitu bahwa sakramen adalah tanda dan materai yang ditetapkan oleh Tuhan Allah untuk menandai dan memeteraikan janji-janji Allah di dalam Injil, bahwa karena korban Kristus di kayu salib, kita dianugerahi keampunan dosa dan hidup kekal.[19]
Gereja Reformasi memberikan ketentuan mengenai sakramen sebagai berikut:  “sakramen adalah “tanda” dan “materai” yang kelihatan dan suci, yang ditentukan oleh Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dijadikanNya”. Tanda dan materai yang dimaksud adalah meneguhkan iman:
1.    Tanda: ialah gambaran / lambang untuk memperingati sesuatu yang tidak kelihatan. Seperti pelangi itu dijadikan tanda anugerah Allah setelah air bah. Demikian juga air yang dipergunakan dalam baptisan, serta roti dan anggur yang dipergunakan dalam Perjamuan Kudus itu menjadi tanda dari anugerah yang telah dijadikan oleh Tuhan. jadi anugerah itu datangnya dari Tuhan karena sengsaradan kematian Yesus Kristus.
2.    Materai: (Roma 4:11) itu mengatakan bahwa segala sesuatu adalah benar, materai menjamin kebenaran. Tanda-tanda sakramen dalam Perjanjian Baru itu dijadikan materai untuk segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan. Air baptisan itu, materai kasih Tuhan kepada kita, sehingga Ia menerima kita menjadi anak-anakNya. [20]

D.   Pengertian Baptisan
          Sakramen Baptis merupakan salah satu bagian dari Sakramen Inisiasi. Kata Inisiasi berasal dari bahasa Latin inire (masuk ke dalam), atau initiare (memasukkan ke dalam), atau initium (awal). Setiap kelompok sosial manusia selalu menciptakan dan memakai upacara khusus untuk menerima dan memasukkan orang luar ke dalam kelompoknya sebagai anggota penuh dengan segala kewajiban dan haknya. Tidaklah mengherankan kalau Gereja, sebagai kelompok sosial yang berdasarkan pada iman akan Yesus Kristus, jugamenciptakan upacara khusus sebagai wujud inisiasi. Melalui inisiasi ini orang dimasukkan ke dalam keanggotaan Gereja, yang tampak secara nyata dalam peristiwa pembaptisan. [21]
          Baptis berasal dari kata baptizein atau baptismos (Yunani), ‘mencelupkan ke dalam air’ atau ‘membasuh dengan air’. Arti pembaptisan ini secara jelas dapat dipahami dalam peristiwa pembaptisan Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (dibaptis berarti dicelupkan atau ditenggelamkan ke dalam air).[22]
Baptize bersal kata Yunani, baptizein yang berarti menyelamkan, membaptis, mempermandikan ; memberikan nama kepada. [23]
          B            apisan dikenal sebagai ritual inisiasi Kristen yang melambangkan pembersihan dosa. Baptisan juga melambangkan kematian bersama Yesus. Dengan masuk ke dalam air, orang yang dibaptiskan itu dilambangkan telah mati. Ketika ia keluar lagi dari air, hal itu digambarkan sebagai kebangkitannya kembali.
          Untuk pertama kali yang diperintahkan melakukan baptis tu ialah Yohanes pembaptis, dan diperintahan oleh Tuhan sendiri (Mat 21:25). Oleh karena itu maka pembaptisan dari Yohanes itu sama saja dengan baptisan dari Tuhan Yesus Kristus. Sebab maksudnya sama, yaitu: pernyataan dari tobat, dan sebagai tanda menerima keampunan dosanya (Mrk 1:4 ; Kis 2:38). Maka untuk selanjutnya Kristus memerintahkan muridNya supaya membaptis, sejak Kristus masih di tengah-tengah mereka (Yoh 4:22 ; 4:1-2). Pembaptisan itu diperintahkan pulapada waktu Tuhan Yesus Kristus telah bangkit dari kematian dan hendak naik ke sorga (Mat 28:19) [24]        
          GMIST mengakui dan melaksanakan bentuk sakramen baptisan kudus anak, dan baptisan kudus dewasa. Baptisan kudus anak adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada anak usia 15 tahun ke bawah, berdasarkan perjanjian Anugerah Allah dalam Tuhan Yesus Kristus dan pengakuan iman orang tua/ walinya yang sah secara hukum . Baptisan Kudus dewasa adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada orang yang berusia 16 tahun keatas. Selain baptisan kudus anak dan dewasa ini, dalam keadaan tertentu dapat dilayankan baptisan kudus kepada orang yang sudah uzur, atau orang dewasa yang sakit keras yang masih dapat mengaku imannya, atau kepada anak yang sakit keras, atas dasar pengakuan iman orang tuanya/walinya.
E.    Baptisan Dalam Alkitab
Sakramen-sakramen memainkan peranan yang penting dalam menyatakan berlakunya kini keselamatan yang penuh. Baptisan, menurut Efesus dan Kolose, bukan hanya berarti bahwa kita turut mati bersama dengan Kristus. Begitulah paham Paulus (Rm. 6:3). Kedua surat tersebut sudah mengatakan bahwa kita juga turut bangkit bersama-sama dengan Kristus (Kol. 2:12; 3:1). [25]
      Efesus 2:5-6 yang menggunakan terminologi pembaptisan: (Allah) “ telah menghidupakan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita – oleh kasih karunia kamu diselamatkan – dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga”. Jadi, kebangkitan yang dinantikan Paulus sebagai suatu kejadian eskatologis yang akan terjadi kelak, menurut cara berpikir ini, sudah terlaksana. [26]
      Dalam Matius 28: 19, sangat jelas bahwapada dasarnya semua manusia, baik kecil maupun besar, baik pria maupun wanita berhak menerima baptisan kudus. Hanya di dalam Alkitab belum jelas atau belum diketemukan kalau umur berapa seseorang menerima Baptisan Kudus. Memang di dalam Alkitab tidak dipersoalkan, kalau umur berapa seseorang bisa dibaptis, tetapi yang penting dan yang pasti, bahwaorang yang percaya kepada Yesus Kristus, wajib menerima dan melaksanakan Baptisan Kudus. [27]
F.    Cara-cara Baptisan
Kata “membaptis” berarti: menyelulupkan. Adapun pelaksanaan baptisan adalah demikian : orang diselulupkan ke dalam air atau di perciki air. Telah dikemukakan, bahwa baptisan adalah tanda, yang menandai perjanjian Tuhan Allah. oleh karena itu, baptisan mengejawantahkan atau menggambarkan janji-janji Tuhan Allah, yaitu bahwa karena korban Kristus Tuhan Allah berkenan mengampuni dosa orang yang dibaptis dan memberikan hidup yang kekal kepadanya. Menurut Mat. 28: 19,20 tadi, orang yang dibaptiskan itu, dibaptiskan atau diselulupkan ke dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sebab di situ disebutkan “Dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Kata ‘dalam’ lebih diterjemahkan dengan ‘ke dalam’. [28]
Telah dikemukakan bahwa, nama Allah adalah Tuhan Allah sendiri di dalam karya penyelamatanNya. Maka dibaptiskan ke dalam nama Allah Tritunggal berarti: diselulupkan atau dipersatukan dengan karya penyelamatan Allah Tritunggal, sebagai pencipta , penyelamatan dan pembebas umatNya. Oleh karena itu maka hidup orang yang dibaptiskan juga dikuasai oleh karya penyelamatan Allah Tritunggal tadi. Yang menjadi patokan hidupnya adalah kehendak Allah Tritunggal . dipersatukan dengan Allah Tritunggal berarti dipersatukan dengan Allah Bapa, karena ia dipersatukan dengan Allah Anak dengan karya Roh Kudus. Itulah sebabnya ungkapan “dibaptiskan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus” di tempat lain diungkapkan dengan ungkapan “dibaptiskan ke dalam Kristus” (Rm. 6:3; Kol. 2:11,12; Gal. 3:27), atau ‘dibaptiskan di dalam Roh’ (1 Kor. 12:13). [29]
G.   Dasar pelaksanaan baptisan
Baptisan mempersatukan orang beriman dengan Kristus. Dari Gal. 3:27 kita dapat mengetahui, bahwa dibaptiskan dalam Kristus berarti “mengenakan Kristus” seperti orang yang mengenakan pakaian. Hal ini menunjukkan, bahwa orang yang dibaptiskan ke daam Kristus tadi telah menjadi satu dengan Kristus. Oleh karena ia menjadi satu dengan Kristus, maka orang yang dibaptiskan tadi juga mengalami sesuatu yang dialami oleh Kristus. Demikian juga oleh karena kita telah dipersatukan dengan kematianNya, kita juga dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm. 6:4). Selanjutnya, oleh karena kita telah turut dikuburkan bersama-sama dengan Kristus, kita juga turut dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus dan hidup dalam hidup yang baru, dan turut diberi tempat bersama-sama dengan Dia di sorga (Ef. 2:6). [30]


BAB III
METODE PENELITIAN

A.   Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan mini skripsi ini ialah untuk memberikan pemahaman mengenai sakramen baptisan yang sesungguhnya. Serta menjadikan warga gereja yang benar-benar mengetahui makna dari sakramen baptisan kudus.

B.   Tahapan Penelitian
1.    Pengamatan (Observasi)

Nasution[31] menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut.[32] Yang dimaksud dengan pengamatan (observasi) adalah langkah awal yang dilakukan seseorang ketika hendak meneliti suatu  permasalahan, dimana hal ini dapat dilakukan supaya peneliti dapat terarah pada sasaran sehingga dapat diperoleh pengetahuan ilmiah mengenai manusia dan hubungan dengan orang lain. Itulah sebabnya teknik ini penulis gunakan untuk mengamati sejauh mana pemahaman dan praktik jemaat terhadap arti persembahan dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan jemaat Kristen. Peneliti sendiri lebih khusus menerapkan observasi partisipatif, artinya peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.[33]


2.     Wawancara (Interview)

Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.[34] Interview merupakan hatinya penelitian sosial. Wawancara lebih khusus dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan kepada para responden.

3.     Studi Kepustakaan
Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data-data teoritis. Penelitian kepustakaan (library research) digunakan untuk menghimpun data-data pokok yang hendak dibicarakan dan dirumuskan. Sumber-sumber tersebut diperoleh melalui buku-buku, majalah, materi kuliah, materi ceramah serta bahan-bahan tertulis lainnya.


C.   Metode Penelitian

1.    Pendekatan Penelitian

Karya ilmiah ini menggunakan penelitian kualitatif, metode kualitatif digunakan juga dalam berbagai studi teologi.[35] Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak.[36]
Tujuan penelitian kualitatif memang bukan semata-mata mencari kebenaran, tetapi lebih pada pemahaman subjek terhadap dunia di sekitarnya. Dalam memahami dunia sekitarnya, mungkin apa yang dikemukakan informan salah, karena tidak sesuai dengan teori, tidak sesuai dengan hukum.[37]

2.   Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berlokasi di wilayah jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE, Desa Laine, Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.


3.   Sasaran dan Informan
a.   Populasi / sasaran
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari.[38] Penelitian ini lebih khusus untuk meneliti lingkup situasi jemaat GMIST Bait Zalil Laine, yang berada di desa Laine, Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi narasumber, atau partisipan, informan, temanm guru, atau konsultan dalam penelitian. Karena mereka tidak hanya menjawab pertanyaan secara pasif tetapi secara aktif berinteraksi secara interaktif dengan peneliti. Sampel dalam penelitian kualitatif juga bukan disebut sampel statistik tetapi sampel teoritis karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori.[39]
Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dam wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut.




b.  Instrumen Penelitian

Dalam penelitaian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara.[40] Peneliti mempersiapkan konsep wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur dalam lembaran kertas. Peneliti juga membuat daftar pengamatan dalam lembaran kertas. Selebihnya, peneliti mempergunakan literarur (buku-buku, ensiklopedi, kamus, dsb) sebagai instrumen dalam teknik pengumpulan data studi kepustakaan.

D.   Analisis data
Analisa data kualitatif erat hubungannya dengan pengumpulan data (pengeloaan data, termasuk penyimpanan dan pengeluaran yang efektif untuk tujuan penelitian).[41] Proses analisis data kualitatif “mengubah sifat”  (transforming) data dan mencakup tiga subproses, yaitu deskripsi, analisis, dan interpretasi.[42] Huberman dan Miles[43] menggunakan istilah analisis secara umum dan menamakan tiga subproses itu dengan data display (penyajian data), data reduction (peringkasan data, yang adalah analisisi itu sendiri), dan conclusions drawing and verification (penarikan simpulan-simpulan dan penyahihan hasil, yang adalah penafsiran dan penyajiannya). Tiga alur kegiatan analisis tersebut terjadi secara bersamaan, yang artinya reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebgai sesuatu yang jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaktif pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut “analisis”[44]
Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya ialah agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Prinsip pokok teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan menganaliss data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur, dan mempunyai makna.[45]
Teknik analisis data kualitatif menggunakan analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, analisis tema kultural, dan analisis komparasi konstan yang kesemuanya itu dilakukan secara bertahap.[46]
           
Berikut ini adalah data informan


BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.   Hasil Temuan
1.   Latar Belakang GMIST Bait Zalil Laine
          Sebelum desa Laine berdiri sendiri, desa laine masuk dalam wilayah pemerintahan kampung kaluwatu. Sehingga, jemaat yang ada di Laine adalah juga wilayah pelayanan zending kaluwatu. Setelah tahun 1892, wiayah Laine, berdiri sendiri, dan terpisah dari pemerintahan kaluwatu. Setelah tahun1892 itu, jemaat Laine juga memisahkan diri dari jemaat Kaluwatu. Dan pada 26 Juni 1892, Laine menjadi wilayah jemaat Laine Tompohe. GMIST Bait Zalil Laine Berdiri pada tanggal 26 juni 1892, dengan pemimpin jemaat.
1.    Bpk Guru Karel Manopo1892-1900
2.    Bpk Guru Kristian Aralung 1900-1908
3.    Bpk Guru Bernar Surupandy 1908-1916
4.    Bpk Guru Andris Kaluara 1916-1924
5.    Pinulong Kristian Manumpil 1924-1934
6.    Bpk Guru Welhenus sentinuwo 1934-1942
7.    Pdt. Agustinus Karame 1942-1947
8.    Pdt. A Rarome 1947-1953
9.    Bpk Guru Salmon Polohindang1953-1958
10.  Bpk Gur H. Kaudis 1958-1963
11.  Guru Jemaat Robert Mahamura 1963-1966
12.  Guru Jemaat E.Tumuwo 1966-1972
13.  Guru Injil Johanis Paraeng 1971-1976
14.  Guru Jemaat Samuel Masoara 1976-2002
15.  Pdt. L Kakomba, S.Th 2002-2005
16.  Pdt. Netri E. Fredrik,S.Th  2005-2011
17.  Pdt. Mutiara Paransi, S.Th 2011-sekarang
         Yang memberi nama Jemaat Bait-Zalil adalah Guru Salmon Polohindang, BAIT ZALIL artinya Rumah Tuhan. sebelum Bait-Zalil namanya hanya GMIST LAINE TOMPOHE.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Sakramen,  Dalam Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud, ada dua bentuk pelayanan yang termasuk dalam sakramen gereja. Kedua bentuk pelayanan yang dimaksud adalah : Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Baptisan Kudus adalah salah satu bentuk pelayanan yang termasuk dalam sakramen Gereja.
B.   Saran
          Penulis hendak memberikan saran untuk membangun kehidupan Dalam persekutuan berjemaat dalam melaksanakan baptisan kudus.


[1] Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), h. 157
[2] Konferensi WaliGereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: KANISIUS, 1996), h 400
[3] Ibid h 398
[4] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA : BPK, 2010), h 418
[5] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA : BPK, 2010), h 432
[6] E. Martasudjita, PR,  Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius, 2003)  h. 164
[7] Ibid   hh. 164-166
[8] E. Martasudjita, PR,  Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, Liturgis, dan              Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius, 2003)  hh. 61-67
[9] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA : BPK, 2010), h 424
[10] L. Prasetya, PR, Panduan Untuk Calon Bpatis Dewasa, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), h.      133
[11] E. Martasudjita, PR,  Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, Liturgis, dan             Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius, 2003)  h. 67
[12] Dr. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hh. 224-225
[13] Henri Veldhuis, Kutahu Yang Kupercaya, (JAKARTA : BPK Gunung Mulia, 2010), h. 238
[14] Dr. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), h. 223
[15] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 398
[16] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hh. 398-399
[17] JB. Banawiratma SJ, Ekaristi Dan Kerjasama Iman-Awam, (Yogyakarta: Kanisius), hh.          37-38
[18] Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA : BPK, 2010), h. 432
[19] Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA : BPK, 2010), h. 426
[20] BP Sinode GMIST, Pedoman Dasar Pelayanan GMIST, (Tahuna, 1986) hh. 430-431
[21] L. Prasetya, PR, Panduan Untuk Calon Baptis Dewasa, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), h.      155
[22] Ibid  
[23] Henk ten Napel, Kamus Teologi Iggris-Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009),      h. 51
[24] Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hh. 70-86
[25] Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar Eskatologi Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), h. 55
[26] Ibid
[27] BP Sinode GMIST, Pedoman Dasar Pelayanan GMIST, (Tahuna, 1986) hh. 432-433
[28] Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA : BPK, 2010), h. 438
[29] Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA : BPK, 2010), h. 438

[30] Ibid
[31] Nasution (dalam Sugiyono) ibid., h. 226
[32] Ibid
[33] Ibid., h. 227
[34] Ibid., h. 231
[35] Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk  Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004, hlm. 107
[36] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2008, hlm. 9
[37] Sugiyono, Op. Cit., hlm. 241
[38] Ibid., hlm. 216
[39] Djam’an Satori dan Aan Komariah, Op. Cit.,  hlm. 48
[40] Ibid., hlm. 223-224
[41] Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk  Riset Teologi dan Keagamaan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), h. 259
[42] Wolcott (dalam Subagyo), ibid
[43] Huberman dan Miles (dalam Subagyo), ibid.
[44] Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 339
[45] Jonathan Sarwono, Op. Cit., h. 239
[46] Ibid., h. 240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar