BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gereja sebagai persekutuan
orang kudus, bukan terdiri dari orang-orang suci sempurna, yang tanpa cela,
melainkan terdiri dari orang-orang berdosa yang dikuduskan oleh Allah dan yang
dipanggil supaya menguduskan diri juga. Oleh karena keadaannya yang demikian
itu maka hidup para orang beriman penuh dengan pergumulan, yaitu pergumulan
antara manusia yang lama dengan manusia yang baru, antara cara hidup yang lama
yang dikuasai dosa dan cara hidupa yang baru yang dikuasai Roh Kudus. Di dalam
pergumulan itu, orang beriman memerlukan sarana guna menguatkan imannya, supaya
ia dapat menghadapi segala tipu daya iblis dan berpegang kepada segala janji
Allah yang diberikan di dalam Injil. Sebagai sarana guna menguatkan iman itu,
Allah memberikan: pelayanan firmanNya dan pelayanan sakramen. [1]
Setiap Gereja pasti
memiliki sebuah doktrin, khususnya doktrin yang terkait dengan hal sakramen
sebagai salah satu doktrin fundamen dalam sebuah gereja. Gereja sebagai sebuah
persekutuan persaudaraan dan keimanan, menjadi sebuah keniscayaan, di dalamnya
terdapat ritus-ritus sakramen. Dalam sakramen, rahmat (cinta Allah) disampaikan
secara konkret melalui tanda-tanda badaniah atau sombol-simbol. [2]
Sakramen-sakramen yang
dikenal sekarang dalam sejarah Gereja dimulai sebagai praktek, tidak lahir
sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Sejatinya, sejak awal hidup Gereja
memang terdapat ritus sakramen-sakramen yang dianggap sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan hidup Gereja, dan dipandang penting dan mutlak perlu untuk hidup
Gereja. [3]
Gereja sebagai kesatuan
para orang beriman (tubuh Kristus) dan bagaimana orang beriman dijadikan
berpartisipasi dengan tubuh Kristus itu, alat keselamatan yang dipergunakan
oleh Tuhan Allah, baik untuk membawa orang masuk ke dalam persekutuan tubuh
Kristus, maupun untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik mereka yang telah
menjadi anggota tubuh itu. Adapun yang dimaksud dengan “alat keselamatan”
adalah jalan atau alat lahiriah yang biasa dipakai Roh Kudus untuk menerapkan
buah karya penyelamatan Kristus guna mengumpulkan dan memelihara GerejaNya. [4]
Jikalau
Gereja melayankan baptisan kudus, hal itu bukanlah karena Gereja suka membuat
aturan yang demikian, melainkan karena diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dalam
Mat. 28:19,20 tersebut, perintah Tuhan Yesus yang mengenai baptisan itu
terdapat juga dalam Mrk. 16:16. Sekalipun demikian, baptisan kudus ini
sebenarnya bukan peraturan yang baru. Sebab orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus
telah mengenal baptisan juga. Para orang kafir yang ingin menjadi umat Allah
dengan masuk menjadi yahudi, harus dibaptiskan terlebih dahulu. Bahkan upacara
baptisan ini terdapat juga ditengah-tengah bangsa-bangsa lainnya. Demikian juga
ketika Yohanes pembaptis mulai bekerja, ia membaptiskan para orang Yahudi. Baptisan
Yohanes pembaptis memang dilayankan atas nama Tuhan Allah. sebab Yohanes memang
diperintahkan oleh Tuhan Allah supaya membaptiskan para orang Yahudi (Yoh.
1:33; Luk . 3:2). Oleh karena itu maka baptisan Yohanes memang berdasarkan
perintah Tuhan Allah . Tuhan Yesus sendiri juga mengakui baptisan Yohanes ini
(Mat. 21:35; Mrk. 11:30,33). Menurut Tuhan Yesus, menolak baptisan Yohanes
berarti menolak Tuhan Allah sendiri (Luk. 7:30). [5]
Sejatinya,
sudah disadari cukup lama dalam sejarah teologi sakramen bahwa,
sakramen-sakramen ditempatkan dalam konteks penyampaian rahmat keselamatan
kepada seluruh umat kristiani. Sejak abad pertengahan, dalam sejarah teologi
sakramen, sakramen-sakramen hanya dilihat sebagai sarana atau saluran rahmat.
Rahmat itulah yang menjadi daya guna sakramen-sakramen. orang berpikir bahwa
rahmat yang diberikan dalam sakramen berasal dari Allah. Rahmat Allah tersebut
dibagikan melalui sakramen-sakramen sebagai salurannya. Menerima sakramen
berarti menerima rahmat. Rahmat dibayangkan sebagai sesuatu yang bisa
disalurkan. Jadi, sekali lagi sakramen-sakramen itu dipandang sebagai saluran
atau alat Tuhan untuk membagikan rahmatNya. Bilakita menerima rahmat
sakramen-sakramen, sama saja kita bersatu dengan Allah sendiri, kita menjalin
hidup bersama Allah.
Sebab,
bila sakramen-sakramen itu dirayakan, maka Allah melalui Kristus hadir sendiri
dan manawarkan persahabatan dan kesatuan hidup kepada kita. Pada saat perayaan
sakramen-sakramen itu, terjadilah pertemuan dan kebersamaan antara Allah dan
umatNya melalui simbol-simbol
sakramental. Melalui Kristus, Allah hadir di tengah umatNya dan umat beriman
menghadap Allah melalui Kristus. [6]
Peristiwa
pertemuan itu berlangsung dalam simbol-simbol sakramental. Dalam diri Yesus
Kristus, Allah dan umatNya saling berjumpa dan berkomunikasi. Allah yang
mahakuasa dan sekaligus maha cinta berhadapan dengan umatNya yang rapuh dan
lemah. Melalui Yesus Kristus yang hadir dalam Roh Kudus, Allah menyelamatkan
dan menguduskan umatNya dan umat beriman memuliakan Allah sebagai tanggapannya.
Seluruh peristiwa komunikasi dan pertemuan itu sekali lagi berlangsung dalam
bentuk tanda atau simbol, dan itulah sakramen-sakramen Gereja. [7]
Dalam
sebuah Gereja, sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting
bagi keseluruhan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap
sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan
dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.
Sakramen
yang dimaksud dalam Gereja adalah Baptisan dan Perjamuan Kudus sebagai
“pengontrol keanggotaan” bagi Gereja. Baptisan adalah sarana untuk mengakui
keanggotaan seseorang di suatu Gereja dan Perjamuan Kudus merupakan sarana yang
menandakan bahwa seseorang melanjutkan keanggotaannya dalam Gereja tersebut –
Gereja menunjukkan bahwa mereka yang menerima Baptisan dan Perjamuan Kudus
adalah yang menerima keselamatan.
Oleh
karena itu, pelaksanaan kedua sakramen ini menunjukkan bahwa Gereja memikirkan
keselamatan dan mereka terdaftar secara jelas, yang juga menjadi tanda dari
Gereja masa kini. Kendati sedemikian pentingnya dan bermaknanya sebuah
sakramen, tetapi hal ini berbeda dengan apa yang dipersepsi dan diyakini oleh
Gereja Pantekosta di Indonesia. Menarik dan uniknya, Gereja Pantekosta tidak
mempraktekkan sakramen-sakramen, khususnya secara formal, dengan berbagai macam
alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi
pada realitas di balik simbol-simbol.
B.
PERUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pemahaman Jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE mengenai sakramen?
2.
Bagaimana
pemahaman Jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE mengenai sakramen baptisan kudus?
C.
MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan
dengan manfaat penulisan diatas, maka manfaat penulisan mini skripsi ini adalah:
1. Kiranya warga gereja dapat lebih
memahami tentang sakramen
2. Kiranya warga gereja dapat lebih memahami
tentang sakramen baptisan kudus.
D. Sistematika Penulisan
Untuk
mempermudah pembahasan, maka penulis membagi mini skripsi ini menjadi lima bab
dan setiap babnya tersusun dari tiap-tiap sub bab. Jadi, secara sistematis
penulisan mini skripsi ini disusun sebagai berikut:
Bab Pertama; berisi
pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Perumusan
Masalah, Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab Kedua; lebih banyak menjelaskan tentang
Definisi Sakramen, Pengertian
& Makna Sakramen, Asal-Usul Sakramen, Sakramen dalam Gereja Protestan, Pengertian
Baptisan, Baptisan Dalam Alkitab, Cara-cara Baptisan Dasar pelaksanaan baptisan.
Bab
Ketiga; Memaparkan METODE Penelitian, Tujuan Penelitian, Tahapan
Penelitian, Metode Penelitian: Kualitatif, Analisis Data.
Bab Keempat; Memaparkan Hasil Penelitian
Antara Lain: Hasil Temuan, Refleksi Yang Sistematis,.
Bab kelima: penutup, yang
berisi Kesimpulan Dan Saran.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Pengertian & Makna Sakramen
Kata sakramen dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata latin, sacramentum.
Kata latin sacramentum berakar
pada kata sacr, sacer yang berarti:
kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Kata latin sacrare berarti menyucikan, menguduskan,
atau mengkhususkan sesuatu atau sesaorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata
sakramen menunjuk tindakan penyucian itu ataupun hal mengkuduskan. [8]
Kata
“sakramen” tidak diambil dari Alkitab, melainkan dari adat istiadat Roma, yaitu
dari kata sacramentum. Kata ini
memiliki dua arti, yaitu : (a) sumpah prajurit, yaitu sumpah kesetiaan yang
harus diucapkan oleh seorang prajurit di hadapan panji-panji kaisar, (b) uang
tanggungan, yang harus diletakkan di kuil oleh dua golongan yang sedang
berperkara. Siapa yang kalah di dalam perkara itu akan kehilangan uangnya. oleh
karena itu maka kata”sakramen” (yang dijabarkan dari kata sacer = kudus) mengandung juga arti : perbuatan atau perkara yang
rahasia, yang kudus, yang berhubungan dengan para dewa. Berhubung dengan itu
maka kata sacramentum kemudian
dipandang sebagai terjemahan dari kata Yunani mysterion. Di dalam Gereja semula yang disebut sakramen adalah
segala rahasia yang bersangkutan dengan Tuhan Allah serta penyataanNya, yaitu:
upacara-upacara kebaktian, dan lain-lainnya. [9]
Sakramen
juga berarti tanda dan sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia.
Sakramen dimaksudkan “untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan
akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”. sakramen-sakramen ini datang
dari Kristus, yang berkarya di dalam Gereja melalui Roh Kudus dan sungguh menyelamatkan
umat beriman. Sebagai tanda dan sarana keselamatan, sakramen hendaknya diterima
berdasarkan iman. Sakramen biasanya diungkapkan dengan kata-kata dan tindakan.
Dalam semua sakramen selalu mengandung dua unsur yang hakiki, yaitu forma (kata-kata yang menjelaskan
peristiwa ilahi) dan materia (barang
atau tindakan tertentu yang kelihatan). Sakramen-sakramen inilah yang dirayakan
oleh Gereja dan di dalam Gereja, karena Gerejasendiri diyakini sebagai
sakramen, yaitu “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan
seluruh umat manusia”. [10]
Dengan kata lain, sakramen adalah ritus
Agama Kristen yang menjadi perantara (menyalurkan) rahmat Ilahi yang secara
harfiah berarti “menjadikan suci”. Artinya, sakramen sebagai tanda dan sarana
yang menghadirkan dan menyalurkan rahmat atau sebagai tanda yang melaksanakan
apa yang ditandakan.[11]
Bahkan sakramen bisa diartikan sebagai
suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. sehingga dengan menerima
sakramen, seseorang berjanji unutk hidup setia kepada Yesus Kristus. Atau
sebagai sumpah kesetiaan orang-orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Dalam definisi lain bisa menjelaskan
sakramen sebagai tanda dan materai yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh
Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dijanjikan-Nya. Tanda dan materai
yang meneguhkan iman.[12]
Artinya,
sakramen bisa dikatakan sebagai:
a.
Tanda-tanda
yang kelihatan dari yang tidak kelihatan dari suatu hal suci: atau wujud yang
kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan; Firman yang kelihatan.
b.
Tanda
dan materai yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh Tuhan Allah,
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dijanjikan –Nya supaya iman kita
dikuatkan,
c.
Ditetapkan
Tuhan Allah untuk menguatkan persekutuan sesama anak-anak Allah. sakramen
memberikan anugerah dan menguduskan seseorang. Cara untuk mempersatukan
seseorang (manusia) dengan Kristus, dan mempertahankan persatuan itu.
Jadi, sakramen adalah
upacara atau ritus dalam agama Kristen (Katolik dan Protestan) yang menjadi
mediasi, dalam arti menjadi simbol yang terlihat atau manifestasi dari Rahmat
Tuhan yang tak tampak. Artinya, Sakramen sebagai tanda dan sarana yang
menghadirkan dan menyalurkan rahmat atau sebagai tanda yang melaksanakan apa
yang ditandakan.
Di samping itu, sakramen harus dirayakan dengan pantas
sesuai dengan norma-norma Gereja dan dalam iman, kita percaya bahwa Sakramen
tersebut mendatangkan rahmat seperti yang dinyatakannya. Sementara seorang
manusia yang melayani sakramen Kristus sendiri yang bekerja di dalamnya: Ia
yang membaptis, Ia yang menguatkan, Ia yang mengampuni, Ia yang mengubah roti
dan anggur menjadi Tubuh-Nya dan Darah-Nya. Ia sendiri bertindak dalam
sakramen-sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat – memberikan kehidupan
ilahi dan cinta Allah – yang ditawarkan melalui setiap Sakramen (Katekismus
Gereja Katolik no. 1127-1128).
Kebanyakan sakramen terkait dengan tanda jasmani yang
dapat dirasakan atau dicicipi : air, minyak, roti, anggur. Maka, sakramen dapat
dilihat sebagai bentuk-bentuk liturgi dalam bentuk yang telah dikosentrasikan :
maknarohani yang tinggi dari kasih Allah dialami dalam tanda-tanda yang sungguh
manusiawi dan duniawi. Tanda-tanda itu adalah pewahyuan rahasia Allah dalam
kemanusiaan dan keduniawian dari keberadaan kita merupakan rahasia dari seluruh
iman dan liturgi. [13]
B. Asal-Usul
Sakramen
Membincang asal-usul
Sakramen, diakui ataupun tidak, cukup memberikan kesulitan tersendiri.
Kendatipun demikian, dpat dikatakan bahwa perkataan sakramen itu telah dipakai
oleh Jemaat sejak abad yang pertama untuk mengatakan kumpulan orang yang
diperbolehkan hadir dan turut ambil bagian dalam perjamuan kudus, dan waktu
baptisan kudus dilayani.
Perkataan sakramen itu
artinya: hal yang tersembunyi atau dirahasiakan dan dikuduskan. Perkempulan jemaat
pada waktu dahulu itu memang dirahasiakan juga, dan hanya dapat dihadiri oleh
mereka yang dapat ambil bagian saja. Kemudian, “sakramen” itu dipakai juga
untuk mengatakan segala sesuatu yang diperbuat di dalam perkumpulan ibadat.
Sehingga sejumlah dari sakramen itu sampai lama sekali tidak tentu. Ada yang
mengatakan ada 30, dan ada juga yang hanya menerima 2 saja, pun ajuga ada yang
mengataan 12. Akhirnya, di konsili yang berhimpun di Trente, Gereja Roma
Katolik itu menetapkan bahwa sakramen itu ada 7. [14]
Artinya, sakramen-sakramen
yang kita kenal dimulai dalam sejarah gereja sebagai praktik, tidak lahir
sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. [15] karena itu, titik tolak
menemukan sumber teologi sakramen adalah praktik perayaan sakramen dalam hidup
gereja perdana.
Sejak awal hidup gereja
terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan hidup gereja, dan dipandang penting da mutlak perlu untuk hidup
gereja. Ritus-ritus awal itu antara lain ritus pembaptisan dan pemecahan roti
atau ekaristi. Sebagian besar unsur ritus itu diambil dari kelompok agama lain,
khususnya Agama Yahudi. [16]
Secara konkrit ekaristi
berkembang dari suatu perayaan kekeluargaan menjadi kebaktian jemaat, sebab
ekaristi berasal dari perjamuan terakhir Tuhan Yesus, dan Tuhan Yesus merayakan
perjamuan itu sesuai dengan adat kebiasaan Yahudi. Maka, titik pangkal bentuk
perayaan ekaristi yang sesungguhnya adalah perjamuan keagamaan di kalangan
keluarga Yahudi. [17]
Begitu juga halnya dengan
baptisan kudus, sebenarnya sudah dikenal oleh orang Yahudi sejak lama. Para
orang kafir yang ingin menjadi umat Allah dengan masuk menjadi Yahudi harus
dibaptiskan terlebih dahulu. Bahkan upacara baptisan ini terdapat juga di
tengah-tengah bangsa lain. Baptisan para orang kafir yang masuk menjadi umat
Allah disebut baptisan proselit, dan
ini merupakan peraturan Agama Yahudi. [18]
Pada dasarnya, hal paling
mendasar bukanlah terletak pada hal apa yang telah diambil alih dari tradisi
Agama Yahudi atau terletak pada hal apa yang telah diambil alih dari tradisi
Agama Yahudi atau apa yang diciptakan baru oleh Gereja perdana, tetapi hal
terpenting terletak pada arti dan substansi dari ritus-ritus itu sendiri yang
telah berbeda atau berubah dari tradisi Yahudi menjadi tradisi yang bersifat
khas Kristiani sejak permulaan.
C.
Sakramen dalam Gereja Protestan
Gereja Protestan memiliki
perbedaan perspektif dan persepsi dengan Gereja Roma Katolik mengenai sakramen
dalam segi kuantitasnya. Gereja Protestan meyakini hanya ada dua sakramen,
yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Perbedaan jumlah ini bukan hanya terletak
pada perbedaan bilangan saja, melainkan lebih terletak pada pengertian mengenai
hakekat sakramen. Menurut Gereja R.K, hakekat sakramen terletak di dalam hal
yang berikut, yaitu bahwa sakramen mencurahkan karunia yang adikodrati ke dalam
eksistensi manusia. Sedang menurut Gereja-gereja Reformasi hakekat sakramen
yaitu bahwa sakramen adalah tanda dan materai yang ditetapkan oleh Tuhan Allah
untuk menandai dan memeteraikan janji-janji Allah di dalam Injil, bahwa karena
korban Kristus di kayu salib, kita dianugerahi keampunan dosa dan hidup kekal.[19]
Gereja Reformasi
memberikan ketentuan mengenai sakramen sebagai berikut: “sakramen adalah “tanda” dan “materai” yang
kelihatan dan suci, yang ditentukan oleh Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu
yang dijadikanNya”. Tanda dan materai yang dimaksud adalah meneguhkan iman:
1.
Tanda: ialah gambaran / lambang untuk
memperingati sesuatu yang tidak kelihatan. Seperti pelangi itu dijadikan tanda
anugerah Allah setelah air bah. Demikian juga air yang dipergunakan dalam
baptisan, serta roti dan anggur yang dipergunakan dalam Perjamuan Kudus itu
menjadi tanda dari anugerah yang telah dijadikan oleh Tuhan. jadi anugerah itu
datangnya dari Tuhan karena sengsaradan kematian Yesus Kristus.
2.
Materai: (Roma 4:11) itu mengatakan bahwa
segala sesuatu adalah benar, materai menjamin kebenaran. Tanda-tanda sakramen
dalam Perjanjian Baru itu dijadikan materai untuk segala sesuatu yang dijadikan
oleh Tuhan. Air baptisan itu, materai kasih Tuhan kepada kita, sehingga Ia
menerima kita menjadi anak-anakNya. [20]
D. Pengertian
Baptisan
Sakramen
Baptis merupakan salah satu bagian dari Sakramen Inisiasi. Kata Inisiasi
berasal dari bahasa Latin inire (masuk
ke dalam), atau initiare (memasukkan
ke dalam), atau initium (awal).
Setiap kelompok sosial manusia selalu menciptakan dan memakai upacara khusus
untuk menerima dan memasukkan orang luar ke dalam kelompoknya sebagai anggota
penuh dengan segala kewajiban dan haknya. Tidaklah mengherankan kalau Gereja,
sebagai kelompok sosial yang berdasarkan pada iman akan Yesus Kristus,
jugamenciptakan upacara khusus sebagai wujud inisiasi. Melalui inisiasi ini
orang dimasukkan ke dalam keanggotaan Gereja, yang tampak secara nyata dalam
peristiwa pembaptisan. [21]
Baptis
berasal dari kata baptizein atau baptismos (Yunani), ‘mencelupkan ke
dalam air’ atau ‘membasuh dengan air’. Arti pembaptisan ini secara jelas dapat
dipahami dalam peristiwa pembaptisan Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan
(dibaptis berarti dicelupkan atau ditenggelamkan ke dalam air).[22]
Baptize bersal kata Yunani, baptizein yang berarti menyelamkan,
membaptis, mempermandikan ; memberikan nama kepada. [23]
B apisan dikenal sebagai ritual
inisiasi Kristen yang melambangkan pembersihan dosa. Baptisan juga melambangkan
kematian bersama Yesus. Dengan masuk ke dalam air, orang yang dibaptiskan itu
dilambangkan telah mati. Ketika ia keluar lagi dari air, hal itu digambarkan
sebagai kebangkitannya kembali.
Untuk
pertama kali yang diperintahkan melakukan baptis tu ialah Yohanes pembaptis,
dan diperintahan oleh Tuhan sendiri (Mat 21:25). Oleh karena itu maka
pembaptisan dari Yohanes itu sama saja dengan baptisan dari Tuhan Yesus
Kristus. Sebab maksudnya sama, yaitu: pernyataan dari tobat, dan sebagai tanda
menerima keampunan dosanya (Mrk 1:4 ; Kis 2:38). Maka untuk selanjutnya Kristus
memerintahkan muridNya supaya membaptis, sejak Kristus masih di tengah-tengah
mereka (Yoh 4:22 ; 4:1-2). Pembaptisan itu diperintahkan pulapada waktu Tuhan
Yesus Kristus telah bangkit dari kematian dan hendak naik ke sorga (Mat 28:19) [24]
GMIST
mengakui dan melaksanakan bentuk sakramen baptisan kudus anak, dan baptisan
kudus dewasa. Baptisan kudus anak adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada
anak usia 15 tahun ke bawah, berdasarkan perjanjian Anugerah Allah dalam Tuhan
Yesus Kristus dan pengakuan iman orang tua/ walinya yang sah secara hukum .
Baptisan Kudus dewasa adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada orang yang
berusia 16 tahun keatas. Selain baptisan kudus anak dan dewasa ini, dalam
keadaan tertentu dapat dilayankan baptisan kudus kepada orang yang sudah uzur,
atau orang dewasa yang sakit keras yang masih dapat mengaku imannya, atau
kepada anak yang sakit keras, atas dasar pengakuan iman orang tuanya/walinya.
E. Baptisan
Dalam Alkitab
Sakramen-sakramen
memainkan peranan yang penting dalam menyatakan berlakunya kini keselamatan
yang penuh. Baptisan, menurut Efesus dan Kolose, bukan hanya berarti bahwa kita
turut mati bersama dengan Kristus. Begitulah paham Paulus (Rm. 6:3). Kedua
surat tersebut sudah mengatakan bahwa kita juga turut bangkit bersama-sama
dengan Kristus (Kol. 2:12; 3:1). [25]
Efesus
2:5-6 yang menggunakan terminologi pembaptisan: (Allah) “ telah menghidupakan
kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh
kesalahan-kesalahan kita – oleh kasih karunia kamu diselamatkan – dan di dalam
Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat
bersama-sama dengan Dia di sorga”. Jadi, kebangkitan yang dinantikan Paulus
sebagai suatu kejadian eskatologis yang akan terjadi kelak, menurut cara
berpikir ini, sudah terlaksana. [26]
Dalam Matius 28: 19, sangat jelas bahwapada dasarnya semua
manusia, baik kecil maupun besar, baik pria maupun wanita berhak menerima
baptisan kudus. Hanya di dalam Alkitab belum jelas atau belum diketemukan kalau
umur berapa seseorang menerima Baptisan Kudus. Memang di dalam Alkitab tidak
dipersoalkan, kalau umur berapa seseorang bisa dibaptis, tetapi yang penting
dan yang pasti, bahwaorang yang percaya kepada Yesus Kristus, wajib menerima
dan melaksanakan Baptisan Kudus. [27]
F. Cara-cara
Baptisan
Kata “membaptis” berarti:
menyelulupkan. Adapun pelaksanaan baptisan adalah demikian : orang diselulupkan
ke dalam air atau di perciki air. Telah dikemukakan, bahwa baptisan adalah
tanda, yang menandai perjanjian Tuhan Allah. oleh karena itu, baptisan
mengejawantahkan atau menggambarkan janji-janji Tuhan Allah, yaitu bahwa karena
korban Kristus Tuhan Allah berkenan mengampuni dosa orang yang dibaptis dan
memberikan hidup yang kekal kepadanya. Menurut Mat. 28: 19,20 tadi, orang yang
dibaptiskan itu, dibaptiskan atau diselulupkan ke dalam nama Allah Bapa, Anak,
dan Roh Kudus, sebab di situ disebutkan “Dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus”. Kata ‘dalam’ lebih diterjemahkan dengan ‘ke dalam’. [28]
Telah dikemukakan bahwa,
nama Allah adalah Tuhan Allah sendiri di dalam karya penyelamatanNya. Maka
dibaptiskan ke dalam nama Allah Tritunggal berarti: diselulupkan atau
dipersatukan dengan karya penyelamatan Allah Tritunggal, sebagai pencipta ,
penyelamatan dan pembebas umatNya. Oleh karena itu maka hidup orang yang
dibaptiskan juga dikuasai oleh karya penyelamatan Allah Tritunggal tadi. Yang
menjadi patokan hidupnya adalah kehendak Allah Tritunggal . dipersatukan dengan
Allah Tritunggal berarti dipersatukan dengan Allah Bapa, karena ia dipersatukan
dengan Allah Anak dengan karya Roh Kudus. Itulah sebabnya ungkapan “dibaptiskan
di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus” di tempat lain diungkapkan dengan
ungkapan “dibaptiskan ke dalam Kristus” (Rm. 6:3; Kol. 2:11,12; Gal. 3:27),
atau ‘dibaptiskan di dalam Roh’ (1 Kor. 12:13). [29]
G. Dasar
pelaksanaan baptisan
Baptisan mempersatukan
orang beriman dengan Kristus. Dari Gal. 3:27 kita dapat mengetahui, bahwa
dibaptiskan dalam Kristus berarti “mengenakan Kristus” seperti orang yang
mengenakan pakaian. Hal ini menunjukkan, bahwa orang yang dibaptiskan ke daam
Kristus tadi telah menjadi satu dengan Kristus. Oleh karena ia menjadi satu
dengan Kristus, maka orang yang dibaptiskan tadi juga mengalami sesuatu yang
dialami oleh Kristus. Demikian juga oleh karena kita telah dipersatukan dengan
kematianNya, kita juga dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm. 6:4).
Selanjutnya, oleh karena kita telah turut dikuburkan bersama-sama dengan
Kristus, kita juga turut dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus dan hidup
dalam hidup yang baru, dan turut diberi tempat bersama-sama dengan Dia di sorga
(Ef. 2:6). [30]
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan mini skripsi ini ialah untuk memberikan pemahaman
mengenai sakramen baptisan yang sesungguhnya. Serta menjadikan warga gereja
yang benar-benar mengetahui makna dari sakramen baptisan kudus.
B. Tahapan Penelitian
1.
Pengamatan
(Observasi)
Nasution[31]
menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Melalui
observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut.[32]
Yang dimaksud dengan pengamatan
(observasi) adalah langkah awal
yang dilakukan seseorang ketika hendak meneliti suatu permasalahan, dimana hal ini dapat dilakukan
supaya peneliti dapat terarah pada sasaran sehingga dapat diperoleh pengetahuan
ilmiah mengenai manusia dan hubungan dengan orang lain. Itulah sebabnya teknik
ini penulis gunakan untuk mengamati sejauh mana pemahaman dan praktik jemaat
terhadap arti persembahan dan bagaimana implikasinya dalam
kehidupan jemaat Kristen. Peneliti sendiri lebih khusus menerapkan observasi
partisipatif, artinya peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang
yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.[33]
2.
Wawancara
(Interview)
Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari
responden yang lebih mendalam.[34] Interview merupakan hatinya penelitian
sosial. Wawancara lebih khusus dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan kepada para responden.
3.
Studi
Kepustakaan
Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data-data
teoritis. Penelitian kepustakaan (library research) digunakan untuk menghimpun
data-data pokok yang hendak dibicarakan dan dirumuskan. Sumber-sumber tersebut
diperoleh melalui buku-buku, majalah, materi kuliah, materi ceramah serta
bahan-bahan tertulis lainnya.
C. Metode Penelitian
1.
Pendekatan
Penelitian
Karya ilmiah ini menggunakan penelitian
kualitatif, metode kualitatif digunakan juga dalam berbagai studi teologi.[35] Metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah,
dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Metode kualitatif digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah
data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data
yang tampak.[36]
Tujuan penelitian kualitatif memang bukan
semata-mata mencari kebenaran, tetapi lebih pada pemahaman subjek terhadap
dunia di sekitarnya. Dalam memahami dunia sekitarnya, mungkin apa yang
dikemukakan informan salah, karena tidak sesuai dengan teori, tidak sesuai
dengan hukum.[37]
2.
Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian
berlokasi di wilayah jemaat GMIST BAIT ZALIL LAINE, Desa Laine, Kecamatan
Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
3.
Sasaran
dan Informan
a. Populasi
/ sasaran
Dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif
berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil
kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat
lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial yang
memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari.[38] Penelitian ini lebih
khusus untuk meneliti lingkup situasi jemaat GMIST Bait Zalil Laine, yang
berada di desa Laine, Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe,
Sulawesi Utara.
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden
tetapi narasumber, atau partisipan, informan, temanm guru, atau konsultan dalam
penelitian. Karena mereka tidak hanya menjawab pertanyaan secara pasif tetapi
secara aktif berinteraksi secara interaktif dengan peneliti. Sampel dalam
penelitian kualitatif juga bukan disebut sampel statistik tetapi sampel
teoritis karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori.[39]
Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan
observasi dam wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi
sosial tersebut.
b. Instrumen
Penelitian
Dalam
penelitaian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun
selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan
dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi
data dan membandingkan data yang telah ditemukan melalui observasi dan
wawancara.[40]
Peneliti mempersiapkan konsep wawancara terstruktur dan wawancara tidak
terstruktur dalam lembaran kertas. Peneliti juga membuat daftar pengamatan
dalam lembaran kertas. Selebihnya, peneliti mempergunakan literarur (buku-buku,
ensiklopedi, kamus, dsb) sebagai instrumen dalam teknik pengumpulan data studi
kepustakaan.
D.
Analisis data
Analisa
data kualitatif erat hubungannya dengan pengumpulan data (pengeloaan data,
termasuk penyimpanan dan pengeluaran yang efektif untuk tujuan penelitian).[41] Proses analisis data
kualitatif “mengubah sifat”
(transforming) data dan mencakup tiga subproses, yaitu deskripsi,
analisis, dan interpretasi.[42] Huberman dan Miles[43] menggunakan istilah
analisis secara umum dan menamakan tiga subproses itu dengan data display
(penyajian data), data reduction (peringkasan data, yang adalah analisisi itu
sendiri), dan conclusions drawing and verification (penarikan simpulan-simpulan
dan penyahihan hasil, yang
adalah penafsiran dan penyajiannya). Tiga alur kegiatan analisis tersebut
terjadi secara bersamaan, yang artinya reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi sebgai sesuatu yang jalin menjalin merupakan
proses siklus dan interaktif pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut “analisis”[44]
Analisis
kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis
antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya ialah agar peneliti mendapatkan
makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab
masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Prinsip pokok teknik analisis
kualitatif ialah mengolah dan menganaliss data-data yang terkumpul menjadi data
yang sistematik, teratur, terstruktur, dan mempunyai makna.[45]
Teknik
analisis data kualitatif menggunakan analisis domain, analisis taksonomi,
analisis komponensial, analisis tema kultural, dan analisis komparasi konstan
yang kesemuanya itu dilakukan secara bertahap.[46]
Berikut ini adalah data informan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Temuan
1. Latar
Belakang GMIST Bait Zalil Laine
Sebelum
desa Laine berdiri sendiri, desa laine masuk dalam wilayah pemerintahan kampung
kaluwatu. Sehingga, jemaat yang ada di Laine adalah juga wilayah pelayanan
zending kaluwatu. Setelah tahun 1892, wiayah Laine, berdiri sendiri, dan terpisah
dari pemerintahan kaluwatu. Setelah tahun1892 itu, jemaat Laine juga memisahkan
diri dari jemaat Kaluwatu. Dan pada 26 Juni 1892, Laine menjadi wilayah jemaat
Laine Tompohe. GMIST Bait Zalil Laine Berdiri pada tanggal 26 juni 1892, dengan
pemimpin jemaat.
1.
Bpk
Guru Karel Manopo1892-1900
2.
Bpk
Guru Kristian Aralung 1900-1908
3.
Bpk
Guru Bernar Surupandy 1908-1916
4.
Bpk
Guru Andris Kaluara 1916-1924
5.
Pinulong
Kristian Manumpil 1924-1934
6.
Bpk
Guru Welhenus sentinuwo 1934-1942
7.
Pdt.
Agustinus Karame 1942-1947
8.
Pdt.
A Rarome 1947-1953
9.
Bpk
Guru Salmon Polohindang1953-1958
10. Bpk Gur H. Kaudis 1958-1963
11. Guru Jemaat Robert Mahamura 1963-1966
12. Guru Jemaat E.Tumuwo 1966-1972
13. Guru Injil Johanis Paraeng 1971-1976
14. Guru Jemaat Samuel Masoara 1976-2002
15. Pdt. L Kakomba, S.Th 2002-2005
16. Pdt. Netri E. Fredrik,S.Th 2005-2011
17. Pdt. Mutiara Paransi, S.Th
2011-sekarang
Yang memberi nama Jemaat Bait-Zalil
adalah Guru Salmon Polohindang, BAIT ZALIL artinya Rumah Tuhan. sebelum
Bait-Zalil namanya hanya GMIST LAINE TOMPOHE.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Sakramen, Dalam Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud,
ada dua bentuk pelayanan yang termasuk dalam sakramen gereja. Kedua bentuk
pelayanan yang dimaksud adalah : Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Baptisan
Kudus adalah salah satu bentuk pelayanan yang termasuk dalam sakramen Gereja.
B.
Saran
Penulis
hendak memberikan saran untuk membangun kehidupan Dalam persekutuan berjemaat
dalam melaksanakan baptisan kudus.
[1]
Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 2001), h. 157
[2]
Konferensi WaliGereja Indonesia, Iman
Katolik (Yogyakarta: KANISIUS, 1996), h 400
[3]
Ibid h 398
[4]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA
: BPK, 2010), h 418
[5]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA
: BPK, 2010), h 432
[6]
E. Martasudjita, PR, Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan
Teologis, Liturgis, dan Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius, 2003) h.
164
[8]
E. Martasudjita, PR, Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan
Teologis, Liturgis, dan Pastoral,
(Yogyakarta:Kanisius, 2003) hh. 61-67
[9]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (JAKARTA
: BPK, 2010), h 424
[10]
L. Prasetya, PR, Panduan Untuk Calon
Bpatis Dewasa, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), h. 133
[11]
E. Martasudjita, PR, Sakramen-sakramen Gereja : Tinjauan
Teologis, Liturgis, dan Pastoral,
(Yogyakarta:Kanisius, 2003) h. 67
[12]
Dr. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989), hh. 224-225
[13]
Henri Veldhuis, Kutahu Yang Kupercaya, (JAKARTA
: BPK Gunung Mulia, 2010), h. 238
[14]
Dr. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989), h. 223
[15]
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 398
[16]
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik, hh. 398-399
[17]
JB. Banawiratma SJ, Ekaristi Dan
Kerjasama Iman-Awam, (Yogyakarta: Kanisius), hh. 37-38
[18]
Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA
: BPK, 2010), h. 432
[19]
Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA
: BPK, 2010), h. 426
[20]
BP Sinode GMIST, Pedoman Dasar Pelayanan
GMIST, (Tahuna, 1986) hh. 430-431
[21]
L. Prasetya, PR, Panduan Untuk Calon
Baptis Dewasa, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), h. 155
[22]
Ibid
[23]
Henk ten Napel, Kamus Teologi
Iggris-Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), h. 51
[24]
Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hh. 70-86
[25]
Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar
Eskatologi Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), h. 55
[26]
Ibid
[27]
BP Sinode GMIST, Pedoman Dasar Pelayanan
GMIST, (Tahuna, 1986) hh. 432-433
[28]
Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA
: BPK, 2010), h. 438
[29]
Harun Hadiwijono, Iman KrIsten, (JAKARTA
: BPK, 2010), h. 438
[30]
Ibid
[31]
Nasution (dalam Sugiyono) ibid., h. 226
[32] Ibid
[33] Ibid., h. 227
[34] Ibid., h. 231
[35] Andreas Subagyo, Pengantar
Riset Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk
Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004,
hlm. 107
[36]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2008, hlm. 9
[37]
Sugiyono, Op. Cit., hlm. 241
[38]
Ibid., hlm. 216
[39]
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Op. Cit.,
hlm. 48
[40]
Ibid., hlm. 223-224
[41] Andreas Subagyo, Pengantar
Riset Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk
Riset Teologi dan Keagamaan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004),
h. 259
[42]
Wolcott (dalam Subagyo), ibid
[43]
Huberman dan Miles (dalam Subagyo), ibid.
[44]
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial,
(Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 339
[45]
Jonathan Sarwono, Op. Cit., h. 239
[46] Ibid., h. 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar