Minggu, 23 November 2014

Teologi Feminis



PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Perbedaan gender merupakan sebuah masalah yang telah cukup lama berkembang di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengandung paham patriarkhat, sistem pengelompokkan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak[1]. Paham ini menganggap perempuan hanya berfungsi “di belakang”. Ia ditempatkan untuk mengurus rumah, mendidik anak dan melayani suami. Pandangan seperti ini membuat ruang gerak kaum perempuan terbatas.
Melihat fenomena ini lahirlah sekelompok orang yang menamakan diri kelompok feminis. Mereka berjuang untuk memperoleh hak yang sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Hak untuk berkarir, menjadi pemimpin, dll. Hal ini berdampak juga ke dalam gereja.
Peraturan Gereja yang mengikat mengharuskan perempuan untuk tidak terlibat aktif di dalam pelayanan. Laki-laki diberi porsi yang lebih besar dari perempuan. Padahal, di mata Tuhan semuanya, entah itu laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk melayani Tuhan. Maka lahirlah teologi feminisme.
2.     Rumusan Masalah
Penulis akan membahas gerakan feminisme, teologi feminisme, perkembangan teologi feminisme, tokoh-tokoh teologi feminisme, tanggapan Alkitabiah terhadap teologi feminisme


3.     Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang gerakan teologi feminisme sehingga pada akhirnya pembaca diharapkan dapat mengerti peran perempuan dan bisa menghargainya. Selain itu, makalah ini juga ditulis guna memenuhi nilai mata kuliah Teologi Kontemporer.
BAB II
TEOLOGI FEMINISME
1.     Gerakan Feminisme
Definisi Feminisme
Istilah “Feminisme” berasal dari kata Latin : Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme bermaksud mengkritik struktur patriarkhat yang berada dalam masyarakat dan berusaha untuk mengadakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil.
Dalam patriarki (pater : bapak, arkhe : asal mula yang menentukan) laki-laki berkuasa atas semua anggota masyarakat yang lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang sah. Dalam masyarakat semacam ini, pandangan androsentris (andros : laki-laki, sentris  : berhubung dengan inti ) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki.[2]
Gerakan Feminisme dibagi menjadi 2 bagian :
1.     Feminisme Pembaharuan
Feminisme Pembaharuan berusaha memberi kesempatan baik bagi kaum pria maupun wanita untuk menggunakan potensinya, sebab di dalam masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi keduanya. Kelompok ini lebih menekankan kepada kemampuan (potensi) setiap orang. Contoh, seorang perempuan bisa menjadi direktur sebuah perusahaan karena ia memiliki potensi.
1.     Feminisme Radikal
Kaum feminis radikal menganggap laki-laki sebagai musuh. Mereka menyukai “apartheid”, dimana tidak ada hubungan sama sekali dengan kaum laki-laki. Dalam berteologi, mereka menolak tradisi gereja. Norma-norma dan nila-nilai Alkitab tidak berlaku lagi karena dianggap terikat oleh struktur patriarkhat. Mereka menolak citra dan simbol tradisional, seperti Allah adalah Bapa.[3]
Sejarah Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme lahir dari ketidaksetaraan gender yang merupakan akibat dari adanya paham patriarkhat yang selama ini dianut oleh masyarakat. Perempuan mendapat posisi yang lebih rendah dari laki-laki dan dalam segala hal laki-lakilah yang lebih unggul. Keadaan ini terus berlanjut selama berabad-abad tanpa ada perubahan.
Pada abad pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan dalam masyarakat, kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah perempuan tampil sebagai penulis-penulis.
Gerakan feminisme dimulai pada abad ke-19 di Amerika Serikat dengan fokus gerakan pada satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih. Gerakan feminisme menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat AS, karena gerakan ini memberikan kesadaran baru terutama bagi kaum perempuan.
Keadaan kaum perempuan secara perlahan-lahan mengalami sedikit perubahan pada zaman Pencerahan. Semangat abad Pencerahan memberi dampak besar bagi bangkitnya para wanita terutama di Eropa. Beberapa perempuan tampil ke permukaan dan melahirkan karya tulis ilmiah tentang hak mereka. Gagasan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dituangkan dalam tulisan-tulisan mereka dalam bentuk esai, disertasi dan sebagainya.
2.     Teologi Feminisme
Pandangan yang merendahkan perempuan bukan hanya ada di luar kekristenan. Di dalam gereja sendiri, sering kali perempuan dipandang sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras adalah, perempuan dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah maupun pelayan di gereja.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, yaitu :
1.     Sebagai dampak dari gerakan feminisme
Gerakan feminisme yang terjadi di luar gereja berimplikasi ke dalam gereja karena gereja juga merupakan bagian dari dunia.
1.     Tulisan-tulisan Paulus
Paulus dalam surat-suratnya pun seolah-olah “mengonfirmasi” status dan peran perempuan dalam gereja, misalnya di I Korintus 14:34-35 dan I Timotius 2:12-16. Pada kedua bagian tersebut Paulus melarang perempuan berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sikap Paulus tersebut sangat mempengaruhi cara gereja memperlakukan perempuan, dan karenanya ia dicap oleh para feminis sebagai pembenci kaum perempuan (misogynist).
1.     Sikap bapa-bapa gereja
Cara bapa-bapa gereja memperlakukan perempuan juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Yunani dan Talmud. Menurut William Barclay, pandangan orang Yahudi yang merendahkan perempuan nampak dalam doa pagi orang (baca: pria) Yahudi yang terdapat dalam Talmud. Di dalam doanya setiap pagi seorang Yahudi bersyukur karena Tuhan tidak menciptakannya sebagai seorang kafir, budak, atau perempuan.[4]
Teologi feminis berusaha dengan suara kenabian memperbaharui teologi, gereja dan masyarakat. Mereka menafsirkan kembali secara kritis sumber iman Kristen, yaitu Alkitab dengan tujuan berteologi dalam kategori yang lain daripada kategori patriarkhat.
3.     Tokoh-Tokoh  Teologi Feminisme
Mary Daly
Mary Daly adalah seorang penganut Katolik Roma. Bukunya, “the Church and Second Sex” merupakan sumbangan awal yang penting bagi teologi feminisme. Ia kemudian keluar dari iman Kristen. Ia skeptis terhadap mereka yang berpendapat bahwa Alkitab dapat dibebaskan dari tradisi patriarkhal.
Rosemary Radford Ruether
Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Pembebasan Kristologi dari Patriarkhat”. Dalam tulisan atersebut, ia mempertahankan bahwa pelayanan Yesus adalah mewartakan kabar baik kepada orang-orang yang direndahkan, termasuk perempuan. Akibatnya, ia sangat setuju dengan praktek selibat.
Elizabeth Schussler Fiorenza
Judul bukunya “In Memoriam of Her” yang menggemakan Markus 14:9 – merupakan karya yang berpengaruh. Ia menekankan perlunya melihat peranan yang dimainkan para perempuan pada awal sejarah Kristen, suatu peranan yang penting yang sering diabaikan oleh penafsir Alkitabiah laki-laki. Ini merupakan proses penemuan kembali bahwa Injil Kristen tidak dapat diwartakan jika murid-murid perempuan dan apa yang telah mereka lakukan tidak dikenang.[5]
4.     Hermeneutik Teologi Feminisme
Pengalaman sebagai Titik Tolak
Pengalaman manusia merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang telah tersusun rapi berakar di dalam pengalaman dan terus-menerus diperbaharui oleh pengalaman.
Posisi perempuan yang termarginalkan membuat teolog feminis memakainya sebagai bahan acuan untuk menafsirkan Alkitab.


Memakai sebagian Alkitab
Kaum feminis tidak memakai keseluruhan Alkitab karena ada banyak hal yang menurut mereka meremehkan kaum perempuan. Maka yang dipakai oleh kaum feminis hanyalah sebagian dari Alkitab yang menurut mereka tidak bertentangan dengan prinsip mereka.
Mencari pandangan di luar Alkitab
Adapenafsir feminis yang tidak memusatkan perhatiannya pada Alkitab, melainkan pada perjuangan setiap perempuan dan laki-laki untuk mengatasi tatanan kuasa patriarki yang menyangkal kemanusiaan.[6]

5.     Tanggapan Alkitab dan Gereja terhadap Teologi Feminisme
Tanggapan Alkitab
Berbicara tentang peran perempuan di dalam gereja, ada 3 bagian Alkitab yang selalu menjadi bahan perdebatan di antara orang Kristen, yaitu :
I Kor 11:5;14:34dan I Tim 2:12.
I Korintus 11:5
Menurut adat masyarakat sewaktu Paulus menulis suratini, perempuan-perempuan sopan harus harus bertudung sewaktu mereka berada di tempat umum. Ayat ini ditujukan kepada perempuan-perempuan yang memimpin doa atau mengajar dalam kebaktian gereja.
Hal ini menunjukkan bahwa Paulus tidak melarang perempuan-perempuan untuk mengajar dan berkhotbah di dalam gereja, asal mereka berdandan dan bertindak dengan sopan, yang dapat diterima oleh adat.
I Korintus 14:34
Perkataan “tidak diperbolehkan untuk berbicara” adalah menanyakan sesuatu sewaktu kebaktian berlangsung. Kalau ditengah-tengah kebaktian mereka dengan spontan mengacungkan tangan untuk bertanya, hal ini akan mengganggu suasana kebaktian.
I Timotius 2:12
Ayat  ini ditulis untuk Timotius yang sering menghadapi seorang perempuan yang “bossy” dalam gereja, sehingga Paulus tidak mengizinkan perempuan tersebut menguasai Timotius. Ini tidak berarti bahwa perempuan tidak boleh mengajar dan tidak boleh menjadi pemimpin, karena akan bertentangan dengan :
ü  Debora seorang hakim yang memerintahIsrael– Hak 4:4-5
ü  Hulda seorang nabiah Yerusalem – II raj 22:14
ü  Hana seorang nabiah yang setia beribadah di Bait Allah – Luk2:36-39
ü  Priskila, teman sekerja Paulus – Kis 21:8-9
ü  Febe – Rm 16:1
ü  Eudia dan Sintikhe – Fil 4:2-3.[i][7]
Hal ini menunjukkan bahwa tidak berarti pada masa itu sama sekali tidak ada tokoh perempuan yang terkemuka dalam gereja, hanya saja bapak-bapak gereja tidak menyukai teolog perempuan. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena saat itu kaum perempuan menikmati posisi mereka yang terkemuka sebagai guru di lingkungan gnostik.
Itu sebabnya kepemimpinan wanita pada saat itu sering kali diasosiasikan dengan bidat atau ajaran sesat yang tidak diterima gereja.
Tanggapan Gereja
1.     sikap mendukung gerakan feminisme
sikap ini didasari atas pertimbangan bahwa gereja menghargai perempuan dan laki-laki pada porsi yang sama sebagaimana Tuhan menghargai mereka. Perbedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan terletak pada sistem otakyang berkaitan dengan kerja hormon. Namun dalam hal kesempatan bekerja dan berkarir serta pelayanan mendapatkan kesempatan yang sama. Demikian juga seorang perempuan berhak menjadi pemimpin organisasi, termasuk pemimpin gereja.
Dukungan ini terwujud dengan terbentuknya organisasi diantaranya : Men, Women, and God (di Inggris) dan Christians for Biblical Equality (di Amerika).
1.     sikap menolak gerakan feminisme
sikap gereja yang menolak feminisme berdasarkan studi kritis Alkitabiah terhadap metode hermeneutika mereka, sehingga membangun idealisme bernuansa feminis yang radikal. Yaitu adanya upaya mengganti nama Allah dan membangun sistem masyarakat bercorak matriakal.
Organisasi yang menolak gerakan feminis adalah Council on Biblical Manhood and Womanhood (organisasi yang mendukung kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan gereja).
1.     sikap menerima gerakan feminisme namun tetap tunduk kepada otoritas Alkitab
Gereja menerima gerakan feminisme selama tidak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran Alkitab. Dalam hal ini, gereja menerima bahwa perempuan sudah sepatutnya mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Namun, bukan berarti mereka dapat seenaknya bertindak menghancurkan kebenaran Firman Tuhan.[8]


BAB III
PENUTUP
Alkitab sebenarnya tidak melarang adanya gerakan feminisme yang awalnya hanyalah ingin agar tidak ada perbedaan diantara laki-laki dan perempuan. Dalamgalatia3:28, “dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”. Ini menjelaskan bahwa Alkitab sendiri mengajarkan agar tidak perlu ada perbedaan diantara kita, karena semuanya adalah sama di mata Tuhan.
Gerakan feminisme bisa diterima oleh gereja selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan, seperti feminisme pembaharuan.


Daftar Pustaka
2008, Alkitab, Jakarta; Lembaga Alkitab Indonesia
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
2003 Kamus Besar Bahasa Indonsia. Jakarta : Balai Pustaka
Homes, Anne
1992, Perubahan Peran Pria & Wanita dalam Gereja & Masyarakat, Yogyakarta; BPK Gunung Mulia
Lane, Tony
2003, Runtut Pijar, Jakarta; BPK Gunung Mulia
Purnomo, P David
1997, Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, Malang; SAAT
Frommel, Marie C.B
2010, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, Jakarta; BPK Gunung Mulia
           
2011, Jurnal Teologi dan Pelayanan Antusias, Surakarta; Intheos

[1] KBBI, hlm 837
[2] Marie C.B. Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, hlm 9
[3] Anne Homes, Perubahan Peran Pria & Wanita dalamGereja & Masyarakat, hlm 111-112
[5] Tony Lane, Runtut Pijar, hlm 251
[6] Marie C.B. Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, hlm 25
[7] David Pan Purnomo, Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, hlm 78
[8] Jurnal Teologi dan Pelayanan Antusias, hlm 79-80

TEOLOGI PL II (perkembangan yahwisme di kanaan)



ISI
A.    Penulisan Nama Yahweh
Nama Tuhan dalam naskah Ibrani tertera empat huruf (tetragramaton), YHWH. Kitab TaNaKh (Torah, Nabiim, dan Kethubim), kitab orang Ibrani, mengakui nama YHWH tertulis 6829 kali dan merupakan kata yang otentik di dalam naskah-naskah transmisi Perjanjian Lama. J.P Green dalam The Interlinear Bible menyebutkan bahwa teks Ibrani di dalam Perjanjian Lama yang disalinnya berasal dari teks Masoretik. Namun, salinannya ini sudah memiliki bentuk vokal sehingga tertulis YeHoWaH. Di dalam penulisan dalam bahasa Inggris dikenal dengan Jehovah. Penulisan dalam bentuk YeHoWaH terjadi karena adanya vokal yang dicantumkan dalam konsonan YHWH. Bentuk penambahan vokal ini dikerjakan oleh Kaum Masoret. Mereka adalah ahli-ahli kitab dari bangsa Yahudi yang hidup antara 500-an sampai dengan 1000-an Masehi. Dari kaum Masoret ini huruf vokal ditambahkan di dalam salinan Perjanjian Lama.
Para ahli dan pakar teologi memiliki pendapat dan bukti yang sama mengenai cara penulisan nama Tuhan dalam bahasa asli Alkitab, yaitu YHWH. Dari pernyataan, bukti-bukti dan penggalian sejarah menunjukkan bahwa kata YHWH adalah bukti yang otentik mengenai nama pribadi Allah Israel yang tercatat dalam naskah-naskah Perjanjian Lama. Penulisan secara orisinil dalam naskah Ibrani (masa penulisan Perjanjian Lama) tidak terdapat huruf-huruf vokal. Ada beberapa kitab yang tidak mencantumkan YHWH sama sekali, antara lain kitab Ester dan Pengkhotbah.[1] Dalam Kitab Kidung Agung nama Tuhan muncul hanya satu kali saja dalam bentuk pendek (Kid 8:6).[2]
Yahweh merupakan pusat dari Alkitab. Alkitab ditulis dalam masa yang panjang oleh banyak pengarang yang berbeda, memakai beraneka ragam genre. Kadang-kadang sukar untuk melihat cerita yang satu diantara cerita-cerita yang ada. Meskipun demikian ada sebuah kesatuan organis dalam Alkitab. Bukti yang paling jelas ialah kita dapat berkata tentang seorang Pengarang utama. Seluruh isi Alkitab diinspirasikan oleh Tuhan.[3]

Kapan Nama YHWH dinyatakan ?
“Akulah Yahweh- itulah nama-Ku” : demikianlah pernyataan Allah kepada Musa, kepada para tua-tua Israel, kepada segenap umat itu. Allah menyatakan nama-Nya supaya nama itu “diketahui”, “dikenal” atau “diingat” orang. Akan tetapi, bersama-sama dengan pengetahuan nama itu Ia memberikan sesuatu yang lebih besar daripada pengetahuan suatu nama belaka, yakni pengalaman kehadiran-Nya sendiri. Musa akkan diri kepadaku” (Kel 3:16).[4]
Salah satu yang menjadi pertanyaan bagi para ahli sejarah Alkitab yang berkaitan dengan ini adalah kapan YHWH dikenal oleh umat diperintahkan untuk mengatakan kepada para tua-tua orang Israel bahwa “Yahweh ... telah menampt Tuhan? Firman Tuhan yang sering menjadi acuan dalam menjawab pertanyaan kapan nama Yahweh digunakan oleh umat Tuhan adalah Keluaran 6:1-2. Ada dua pandangan utama yang berbeda dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa nama Yahweh pertama kali dikenal oleh umat Tuhan, yaitu pada saat Musa dipanggil Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Tuhan memilih dan memanggil Musa untuk menjadi alat-Nya. Tuhan mempersiapkan Musa untuk menjadi pemimpin atas umat-Nya keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan sesuai yang telah dijanjikan-Nya.[5] Bahasa yang digunakan dalam Keluaran 6:1-2 menurut pandangan ini jelas menunjukkan Yahweh sebagai nama khas untuk Israel yang baru diperkenalkan kepada Musa.  Timbul pernyataan dari Yosephus, sejarawan Yahudi yang hidup pada abad pertama, yang menegaskan bahwa Musa adalah orang pertama yang menerima pernyataan tentang nama YHWH. Lalu muncullah keberatan mengenai pernyataan ini, yang mengatakan bahwa pada masa Enos anak Set juga sudah memanggil nama YHWH (Kejadian 4:26). Karena itu, pemahaman mengenai Kejadian 4:26 secara benar perlu dimengerti, pengertian “memanggil nama Tuhan” itu secara harafiah ataukah memiliki arti yang lain ?
Baker memiliki jawaban atas pertanyaan ini. Menurutnya, kata “memanggil” berasal dari kata Ibrani (qara) yang artinya memanggil, mendeklarasikan, menghadirkan, mengundang, dipanggil, memohon. Contoh, dalam Kejadian 3:9, “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: dimanakah engkau?” Menurut Baker, ayat ini memiliki pengertian menghadirkan keberadaan Adam dihadapan-Nya. demikian juga, Kejadian 4:26, menurutnya, menjelaskan suatu kegiatan penyembahan kepada Tuhan yang telah ada sejak zaman Kain dan Habel (bdk Kej 4:3-4), yang kemungkinan kegiatan penyembahan mereka itu tidak menggunakn kata-kata. Ayat ini (Kej 4:26) menunjukkan secara teratur, yaitu orang-orang mempersembahkan atau mengucapkan doa dan ucapan syukur yang ditujukan kepada Tuhan pada masa Enos. Jadi, penekanannya bukan penyebutan nama YHWH secara harfiah, tetapi pada persembahan doa dan ucapan syukur kepada pribadi yang disembah. Penafsiran ini cocok dan harmonis dengan idiomatik Ibrani mengenai kata ‘nama’. Dengan demikian, penyataan sejarawan Yosephus bahwa nama YHWH baru dinyatakan pertama kali kepada Musa seperti yang dinyatakan  dalam Keluaran 6:2 bisa dimengerti. Hal lain yang perlu dipertimbangkan bahwasanya Musa adalah penulis kitab Kejadian, tidak mengherankan apabila nama YHWH tertulis dalam kitab Kejadian tersebut.
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa nama Yahweh adalah nama yang sudah ada sejak kekekalan, yang kemudian dinyatakan kepada manusia dan terus diperintahkan untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. argumentasi pandangan ini adalah oleh karena bumi pada masa itu hanya memiliki satu logat saja (Kej 11:1). Hal tersebut dijadikan bukti oleh kalangan ini untuk menyatakan bahwa induk bahasa manusia dibumi adalah bahasa Ibrani; dengan demikian, sudah tentu bahasa Ibrani adalah bahasa yang digunakan oleh Sang Pencipta untuk berkomunikasi kepada Adam. Selanjutnya menurut pandangan ini terdapat bukti di dalam kitab Kejadian (Kej 15:7; 26:24; 28:13) bahwa YHWH sudah dikenal oleh Abraham,Ishak dan Yakub dalam karakter nama El Shadday bukan dengan karakter nama Yahweh.[6]  Pembebasan umat Israel dari Mesir merupakan karya terbesar sepanjang zaman Perjanjian Lama. Karya ini menyatakan bahwa YHWH yang memelihara kehidupan umat-Nya. .[7]
Nama Yahweh sebagai ciri agama Israel
Ciri khas agama Israel dapat diringkaskan dalam satu kata, yaitu nama “Yahweh”. Kata inilah yang mejadi nama utama dalam pelukisan agama Israel sepanjang Alkitab dan lebih sering dipakai daripada kata benda atau kata kerja lainnya. Diduga nama Yahweh dipakai lebih dari 6.800 kali (bnd. Dengan istilah umum untuk Allah, yaitu Elohim yang terdapat hanya 2.500 kali). Dalam naskah zaman pra-pembuangan sekalipun, nama Yahweh adalah nama Allah yang paling sering dipakai. Nama Yahweh dominan juga dalam agama Israel Utara. Bahan statistik itu sesuai juga dengan kesan yang lebih umum yang kita peroleh dari naskah-naskah kuno, yaitu bahwa status Yahweh dalam agama Israel adalah mutlak. Perjanjian Lama menggunakan berbagai nama untuk Allah: kadang-kadang Dia disebut El, Elohi, Eloah, Adonay, namun selalu yag dimaksudkan ialah Yahweh. Tidak disangkal adanya ilah-ilah (allah-allah) lain, tetapi sudah jelas bahwa ilah (allah) lain itu tidak dapat dibandingkan dengan Yahweh.
Konsep ketidaksetaraan dalam Perjanjian Lama hanya dikenakan kepada Yahweh. Yahweh tidak bersabar hati terhadap saingan. Menurut istilah Alkitab, Dialah “Allah yang cemburu”, itu berarti bahwa di dalam agama Israel terdapat suatu unsur intoleransi, yang pada pokoknya asing bagi agama-agama politeisme yang berlaku di Asia Barat Daya Kuno. Memang pada dasarnya politeisme merupakan aliran yang toleran yang bersifat relatif dan sinkretis. Dalam agama Israel terdapat suatu intoleransi. Hal itu disebabkan karena Allah yang menyatakan diri di dalam agama-agama tersebut, adalah Allah yang mutlak, absolut, yang tuntutan-Nya mutlak kepada mereka yang percaya kepada-Nya.[8]
Sejak munculnya Yahwisme di atas panggung sejarah sampai pada masa kini, unsur intoleransi ini telah tampak. Hal itu membawa penganut agamanya pada suatu sikap imperialis terhadap agama-agama lain. Pada prinsipnya, agama-agama lain itu ditolak mesikpun ada unsur-unsur tertentu yang dapat diambil alih dari agama saingan itu serta dimasukkan ke dalam Yahwisme. Segera setelah Yahwisme bertemu dengan agama lain, timbullah suatu pergumulan dan dalam proses pergumulan itu ada berbagai unsur yang disesuaikan dengan Yahwisme, sedangkan unsur-unsur lain ditolak. Proses ini tentu memerlukan waktu yang lama bahkan berlangsung selama berabad-abad; mungkin dapat dikatakan bahwa proses ini tidak pernah selesai, hanya terputus dengan tiba-tiba pada zaman pembuangan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Yahwisme mempunyai ciri khas sendiri.
B.     Sifat Agama Israel
Meskipun agama Israel mempunyai banyak titik persamaan dengan agama-agama disekitarnya, namun pada pokoknya agama Israel merupakan sesuatu yang unik. Nadanya khas walaupun kekhasan itu sukar disebut karena sangat kompleks. Bleeker menyebut ciri khas itu sebagai “suatu rasa khusyuk yang sangat mendalam, berhadapan dengan kekudusan Allah.” Van den Leeuw menyebut agama Israel sebagai “agama yang bercirikan kehendak dan ketaatan”, sedangkan Von Rad dan orang-orang lain menekankan “kesejarahan historisitas” yang merupakan “tulang punggung” agama Israel. Jadi pada pokoknya, bila ingin mencakup kekhasan agama Israel secara keseluruhan, maka tinggal menyebut nama “Yahweh” saja. Agama Israel sendiri merupakan suatu kenyataan yang beraneka ragam.
C.    Perkembangan Yahwisme di Kanaan: Tiga Pola
1.      Yahwisme resmi
a.       Yahwisme: pembimbing baru untuk suku-suku Israel Kuno
Yahwisme memberikan isi dan makna baru dalam kehidupan suku-suku Israel, yaitu bimbingan oleh Yahwe dan Tora (atau petunjuk Yahwe). Di atas sering disebut bahwa gairah rohani yang tampak dalam Yahwisme lain daripada apa yang terdapat dalam agama para patriarkh, yakni dalam kepercayaan kepada Theos Patroos, dan dalam agama El. Selama periode para patriarkh titik-titik kontras antara suku-suku Israel dengan kaum Kanaani terletak dalam bidang sosial, namun dengan tampilnya suku-suku Yahwis tampak juga titik-titik kontras yang bersifat agamani. Ada berbagai hal yang menjadi terlarang atau yang diharuskan bagi kelompok-kelompok Israeli, hal-hal yang dulu dianggap tidak bersangkut paut dengan bidang agama.
b.      Yahwisme: sumber inspirasi untuk oknum-oknum karismatis
Dinamika Yahwisme yang baru itu tampak terutama bila oknum-oknum karismatis muncul di bawah bimbingan Roh Yahweh, misalnya Debora dan beberapa orang di antara para hakim. “Pengerohan” (Pemenuhan atau penyemangatan) dengan “ruah Yahweh”, yang menyanggupkan oknum-oknum karismatis itu mengerjakan karya penyelamatan yang hebat, tampak sebagai suatu ciri khas Yahwisme. Pengerohan itu juga membawa mereka memerangi kuasa-kuasa rohani non-Yahwistis, misalnya ibadat Baal (Hak 6), dan pemujaan terhadap ilah-ilah asing (Hak 5:8). Unsur tradisi ini pastilah otentik dengan Ruakh Yahweh berkuasa dan oknum karismatis itu menghadapi penentang-penentangnya di bawah pengaruh Roh Yahweh, sehingga tidak ada tempat lagi untuk ilah-ilah lain. Adalah masuk akal juga kalau oknum-oknum karismatis itu menarik kesimpulan bahwa Yahweh sajalah yang berhak atas gelar “Raja”, sehingga gelar tersebut tidak patut diberikan kepada manusia (Hak 8:22 dyb; 9:8 dyb). Dalam perkembangan selanjutnya (periode Samuel 1-8), ide-ide itu masih kuat. Agaknya, bukan hanya agama kanaani yang ditolak, tetapi konsep kerajaan juga yang memegang erat hubungannya dengan agama tersebut.
Ada banyak titik pertentangan yang mutlak antara Yahwisme dengan agama Kanaani. Ada peraturan ketat yang melarang berpartisipasi dalam kultus ilah-ilah lain (Kel 22:20; 23:13 bnd. Bil 25:4), dan pertenungan (Kel 22:18). Hukum-hukum tertentu mendobrak bentuk-bentuk kultus Kanaani (Kel 23:18). Oleh karena itu, berbagai peraturan mengenai kesucian dan kenajisan yang kita temui dari periode kemudian (mis. Ul 14; Im 11), pastilah berasal dari penolakan terhadap kultus Kanaani itu. Misalnya, larangan makan daging ular dan babi, larangan melakukan beberapa adat istiadat perkabungan dan sebagainya.
c.       Kekhasan Yahwisme dalam bidang sosio-agamani
Dimana suku-suku Israel hidup setia kepada amfiktioni yang sudah berdiri berdasarkan Yahwisme itu, tampaklah bahwa ada suatu jurang rohani antara mereka dengan kaum Kanaani, sedangkan jurang yang ada itu hanyalah bersifat sosial. Albright mengutip bahan bukti dari bidang arkeologi tentang hal ini. Dia mencatat bahwa dalam lapis-lapis Israeli kota kuno yang telah digali secara arkeologis, yaitu Betel, Gibea, Mizpa,Silo,dll, sama sekali tidak terdapat patung-patung perlambang Astarte atau jimat-jimat, kecuali di Tel Bait Mirsim, dan hanya terdapat lima jimat dari seluruh periode tahun 1200-980 sM. Bahkan, adanya lima jimat tersebut karena letak Tel Bait Mirsim di perbatasan wilayah Israel, sehingga kontak dengan suku-suku luar relatif sering terjadi di sana.
d.      Yahwisme: penghancur kerukunan sosio-agamani yang kuno
Dengan demikian jelaslah bahwa Yahwisme memecahkan kesatuan rohani, yang berabad-abad lamanya sudah terdapat antara dunia kebudayaan Kanaani dengan suku-suku Israel yang sudah lama tinggal di Kanaan. Namun, kita harus mencatat bahwa walaupun pada umunya Yahwisme menjalar dengan cepat di antara suku-suku Israel kuno itu, di sana-sini timbul gejala-gejala perlawanan. Sudah jelas misalnya, bahwa ada ketegangan timbul di daerah sekitar sikhem, yang disatu pihak merupakan pusat amfiktioni mula-mula, sedangkan dipihak lain, proses asimilasi antara suku-suku Israeli Kuno dengan kaum Kanaani, itu sudah agak lanjut di Sikhem. Dapat dipastikan bahwa tempat-tempat keramat kuno yang memiliki kuil-kuil El dan Baal (mis Betel, Sikhem,Dan,Tabon,Beryeba, Hebron), tidak tunduk seratus persen kepada Yahwisme atau hanya secara lahiriah saja menyesuaikan diri dengan kultus Yahweh. Agaknya, bentuk-bentuk kultus yang kuno bertahan lama di kota-kota tersebut.
2.      Yahwisme rakyat
Serentak dengan proses kemajuan Yahwisme itu, terdapat juga suatu proses asimilasi yang mempunyai arti besar. Sebagai contoh, kita sebutkan kasus-kasus, ketika nama Baal dikenakan kepada Yahweh. Misalnya terdapat nama-nama anggota keluarga Saul, Isybaal dan Mefibaal, dan nama seperti Yerubaal, dan sebagainya. Sudah tentu proses asmilasi lebih pengaruh diantara rakyat jelata dari pada dikuil-kuil baru, atau diantara pejabat-pejabat amfiktioni, di antara keturunan kelompok Yahwistis, dan di antara pemimpin-pemimpin agama Yahwisme.
3.      Yahwisme Agresif
a.      Yahwisme yang agresif: landasan “perang Yahweh”
Kelompok-kelompok pembela Yahwisme, yang berkumpul disekitar Musa itu, di kemudian hari menghasilkan pembelaan dan pengajar hukum agamani (Ul. 33:8). Agaknya, kaum Yahwis yang militan seperti itu mula-mula tidak bersifat agresif terhadap dunia luar, tetapi mengarahkan perhatiannya pada kaum Israel sendiri. Namun, kegairahan mereka itu menyadarkan dan mempersiapkan suku-suku Israel, sehingga mereka bersiap-siap mempertahankan diri terhadap perlawanan, dengan keyakinan bahwa usaha pembelaan diri itu berarti turut serta dalam “perang Yahweh” sendiri.

1)      “Perang suci” atau “perang Yahweh”?
Ya, tentunya tidak ada teori perang suci di Israel, kecuali dalam periode terakhir dalam sejarahnya, yaitu dalam naskah Qumran yang berjudul perang anak-anak terang melawan anak-anak kegelapan. Namun, pada periode awal (yaitu periode padang gurun), praktik perang suci jelas ada, walaupun mereka tidak memainkan peranan penting. Istilah “perang Yahweh” itu mula-mula dipakai sehubungan dengan perang melawan Moab ketika Israel akan masuk ke negeri Kanaan. Jelas dari Bilangan 21:14 bahwa perna ada naska dengan judul Kitab Peperangan Yahweh. Satu-satunya istilah yang dipakai dalam riwayat-riwayat konkret ialah “peperangan Tuhan”, sedangkan istilah itupun hanya terdapat dalam 1 Samuel 18:17 dan 1 Samuel 25:28. Itu berarti bahwa istilah tersebut berlaku pada zaman Daud.
2)      Ciri-ciri perang Yahweh
Istilah bahwa Yahweh adalah “Pahlawan perang” makin populer di kalangan amfiktioni. Sebelum pertempuran dimulai, para pejuang meminta orakulum Yahweh, para penyair melontarkan kutukan terhadap musuh, dan para pejuang dihibur dengan nyanyian-nyanyian kemenangan Yahweh. Sejatah perang disucikan sebagai persiapan, dan para pejuang menyucikan diri dengan menghindarkan diri dari hubungan seksual.Yahweh sendiri mengawali barisan perang. Teriakan “demi Yahweh dan demi pemimpin” diseruhkan, kemudian para pejuang langsung bertempur. Dalam suatu pertempuran yang sangat berbahaya pasukan perang mengangkat sumpa, dan sehabis perang, rampasannya diserahkan kepada Yahweh dan dimusnakan sebagai korban bagi-Nya, atau disumbangkan kepada bait.[9]


KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas , mengenai “Perkembangan Yahweisme di Kanaan” , kelompok mengambil kesimpulan bahwa dari pernyataan, bukti-bukti dan penggalian sejarah menunjukkan bahwa kata YHWH adalah bukti yang otentik mengenai nama pribadi Allah Israel yang tercatat dalam naskah-naskah Perjanjian Lama
Ada dua pandangan kapan nama YHWH dinyatakan, yakni Yahweh pertama kali dikenal oleh umat Tuhan, yaitu pada saat Musa dipanggil Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Kemuidan, bahwa nama Yahweh adalah nama yang sudah ada sejak kekekalan, yang kemudian dinyatakan kepada manusia dan terus diperintahkan untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. argumentasi pandangan ini adalah oleh karena bumi pada masa itu hanya memiliki satu logat saja (Kej 11:1).
Ciri khas agama Israel dapat diringkaskan dalam satu kata, yaitu nama “Yahweh”. Kata inilah yang mejadi nama utama dalam pelukisan agama Israel sepanjang Alkitab dan lebih sering dipakai daripada kata benda atau kata kerja lainnya. Diduga nama Yahweh dipakai lebih dari 6.800 kali. Sejak munculnya Yahwisme di atas panggung sejarah sampai pada masa kini, unsur intoleransi ini telah tampak. Hal itu membawa penganut agamanya pada suatu sikap imperialis terhadap agama-agama lain. Pada prinsipnya, agama-agama lain itu ditolak mesikpun ada unsur-unsur tertentu yang dapat diambil alih dari agama saingan itu serta dimasukkan ke dalam Yahwisme.
Perkembangan Yahwisme di Kanaan ada tiga Pola, yakni : Yahwisme resmi, Yahweisme Rakyat, Yahweisme Agresif.





ANALISIS
Jadi dalam perkembangan Yahwisme di Kanaan, bangsa Israel beberapakali berperang dengan kaum-kaum yang bertentangan dengan paham Yahwisme dari bangsa Israel. Dalam perkembangan Yahwisme di Kanaan oleh bangsa Israel ada banyak titik pertentangan yang mutlak antara Yahwisme dengan agama Kanaan. Ada peraturan ketat yang melarang berpartisipasi dalam kultus ilah-ilah lain.  Hukum-hukum tertentu mendobrak bentuk-bentuk kultus Kanaan. Oleh karena itu, berbagai peraturan mengenai kesucian dan kenajisan yang kita temui dari periode kemudian, pastilah berasal dari penolakan terhadap kultus Kanaan itu. Misalnya, larangan makan daging ular dan babi, larangan melakukan beberapa adat istiadat perkabungan dan sebagainya.
Keseluruhan upaya yang dilakukan bangsa Israel di tanah Kanaan itu semua untuk mempertahankan kepercayaan/paham Yahwisme oleh bangsa Israel di tanah Kanaan, Yahwisme sangat di pertahankan oleh bangsa Israel, karna pada saat itu Israel sangat menghargai Allah yang mereka sembah, Allah yang membebaskan bangsa mereka dari tanah perbudakan, dan menuntun sampai ke tanah perjanjian yaitu tanah Kanaan, dan tuntunan Allah terhadap mereka, melawan prajurit Firaun, melewati laut Kolson/teberau, dan Allah menyertai mereka dengan tiang awan saat siang hari dan tiang api saat malam hari, itulah yang menjadi pokok iman kepercayaan dan pujih-pujian dari bangsa Israel.







1.      Disebut Perang Yahweh, karna Allah adalah pahlawan perang. Apakah perang yang terjadi di kanaan itu di kehendaki oleh Allah, atau hanya salah satu strategi dari bangsa Israel ?

2.      Apakah Yahwisme memiliki peraturan tersendiri yang di pertahankan untuk menduduki tanah Kanaan, atau ada beberapa peraturan dari agama-agama lain di kanaan yang di masukan kedalam peraturan Yahwisme ?

3.      Apakah Israel berhasil menduduki seluruh daerah kekuasaan di tanah kanaan ?

4.      Bagaimana dengan agama-agama lain yang sudah terlebih dahulu ada di Kanaan, apakah mereka bergabung dengan Yahwisme atau mereka keluar dari tanah kanaan ?

5.      Apakah kepemerintahan di Kanaan di ganti dengan orang-orang dari bangsa Isra


[1] OKY OTTO, History of YHWH (Yogyakarta:ANDI,2013), hal 24-25
[2] W.S.LaSor,dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2 (Jakarta:Gunung Mulia,2011), hal 167
[3] Tremper Longman III, Memahami Perjanjian Lama (Malang:Literatur SAAT,2001), hal 67
[4] Dr. Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta : Gunung Mulia, 2011, h. 148
[5] Dr.C.Barth, Theologia Perjanjian Lama 2 (Jakarta:Gunung Mulia,1982), hal 8
[6] W.S.LaSor,dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta:Gunung Mulia,2000)hal 194
[7] OKY OTTO, History of YHWH (Yogyakarta:ANDI,2013), hal 74-78
[8] TH.C.Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta:Gunung Mulia,2006) hal.5
[9] TH.C.Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta:Gunung Mulia,2006) hal.166-170